Kamis, 25 Juni 2009

Selayang Padang Politk Syar'i

Oleh; Muhammad Bachtiar

Topik politik seakan tak habis diperbincangkan. Dari semua status sosial membincangkannnya, baik strata atas, menengah ataupun bawah. Kalau kita boleh katakan, dari tukang becak sampai politikus itu sendiri. Itulah politik, bagaikan laut yang tak bertepi, terlalu berlebihan mungkin, tapi menurut penulis, ungkapan itulah yang pantas disandangkan, karena ia takkan habis ditelan zaman. Namun, timbul pertanyaan bagi penulis, kira-kira apa yah manfaat politik itu? Sebenarnya politik itu bersih nggak yah? Karena memang dalam realita -khususnya menurut penulis-, politik itu kotor. Sebagian orang berasumsi bahwa mereka (politikus-red) melumurkan diri mereka dengan kotoran , mengotorkan diri dengan uang rakyat, janji-janji manis. Kampanye mereka jadikan panggung sandiwara, tempat membual, itu semua mereka jadikan fasilitas agar bisa mengantarkan pada kekuasaan. Itulah mungkin sepotong fenomena yang bisa kita saksikan dan rasakan dari praktek politik di negeri ini.

Tapi, yakinlah! Allah Swt. tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia, bahkan nyamuk unyil sekalipun tak luput dari pandangan Allah, apalagi politik, yang mana dalam eksistensinya berperan besar dalam mengatur kehidupan.
Namun pada kesempatan ini, mungkin kita akan berfokus pada politik yang berasaskan syariah, atau yang biasa kita sebut dengan as-Siasah asy-Syar`iyyah. Ulama-ulama kita terdahulu maupun sekarang telah membahasnya. Dan banyak sekali buku-buku yang telah mereka susun. Menurut mereka bahwa politk syari` adalah politik yang berdiri di atas pondasi-pondasi syar`I, yang dapat ditinjau dari berbagai aspek,termasuk aspek hukum. Mereka juga tidak menafikan, bahwa tidak semua poitik itu syar`i, seperti perpolitikan di negeri kita. Mungkin bisa dikatakan bahwa mayoritas dari politikusnya jauh dari politik yang berlandaskan syar`i. Karena -menurut hemat penulis-, apabila politik yang mereka geluti itu syar`i, mungkin akan jauh dari makar atau kerusakan, baik sosial, ekonomi, budaya maupun agama.

Jika kita flashback sejenak pada era 1967-1987-an, melalui penuturan aktivis angkatan 66, Hussein Umar, pemerintah orde baru pada saat itu melakukan deideologisasi, depoitisasi, dan sekulerisasi. ”Islamisasi politik dan depolitisasi islam adalah bagian kebijakan kekuasaan yang mencerminkan islamofobia,” kata Husein Umar dalam sebuah seminar dakwah di Gedung Perpusakan Nasional, Jakarta, 24 Juni 1995. Atau dalam bahasa Jendral Soemitro, “sekulerisasi politik.” Kristenisasi merajalela. Berbagai program pendakalan aqidah, seperti rencana pengajaran panca agama, penyelenggaraan SDSB, Pendidikan Moral Pancasila, penghapusan libur Ramadhan. Jilbab dilarang. Berbagai rekayasa politik terhadap umat Islam dijalankan. Ektrimisasi Islam dijalankan. “ Berbagai peristiwa yang dialami aktivis dakwah pada era ali Moertopo-Sujono Humardani mengingatkan kita pada saran Snouck Hurgronje kepada pemerintah imperialis Belanda untuk memadamkan cita-cita umat Islam yang dipimpin para ulama, “ Kata Hussein Umar.
Jelas! Dalam daya nalar kita, bahwa politisasi yang terjadi pada era ini
benar-benar telah menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat dari berbagai segi, terutama agama, yang pada era itu disebut-sebut sebagai sejarah politik yang paling kelam yang dialami oleh umat Islam. Ini mungkin cerminan politik pada era itu, yang jauh sekali dari asas syar`i.
Ketika politikus-politikus tidak lagi mengiraukan syari`ah, maka yang akan terbersit dalam benak mereka adalah kekuasaan dan materi. Kalau bisa dikatakan, semua ini merupakan dosa warisan yang diwariskan politisi terdahulu. Dan tradisi ini terus dilestarikan, bahkan dikembangkan, yang penting menurut mereka, kursi itu tetap melekat. Kesejahteraan rakyat tak dipikirkan lagi. Gambaran politik seperti ini bukanlah cerminan politik syar`i (as-Siyasah as-Syar`iyyah), politik yang menjadikan syari`at sebagai sandaran segala aktivitas. Memang tak dapat dipungkiri, hampir sebagian besar ideologi barat mengingkari politk syar`i itu sendiri, mereka berpendapat bahwa tidak ada agama dalam politik, atau tidak ada politik dalam agama, atau yang sering kita dengar dengan sekulerisme. Dan ada juga diantara mereka yang bersikap kontras, mereka menganggap Islam itu adalah politik, atau dalam istilah mereka al-Islam as-Siyasi (Islam politik), tapi slogan ini tak lain hanyalah sekedar alat dalam rangka penistaan agama Islam. Ini merupakan tugas kita untuk memberikan pencerahan tentang politik syar`i itu sendiri, baik etimologi ataupun terminiloginya, bahkan harus kita sodorkan pandangan ulama-ulama tentang hal ini, tentunya setelah memahami secara eksplisit, agar tidak terjadi kekeliruaan seperti yang dialami oleh Jaringan Islam Liberalis, Sekularis, ataupun markis. Maka dari itu, penulis ingin menyodorkan sedikit dari pendapat-pendapat para ulama, baik dari kalangan Salaf, maupum Khalaf, tentu dengan segala keterbatasan dan minimnya kapabilitas penulis. Arti dari syari’at yang dinisbatkan pada politik. Pertama kita harus mengetahui maksud syari’at yang dinisbatkan pada politik itu sendiri, karena syari’ah itu terlalu luas. Kata syari’at sering tergambar dalam pikiran manusia adalah sesuatu yang menakutkan. Yang mana syari’at ini juga sering digambarkan sebagai kumpulan dari perkataan-perkataan para ulama Fiqih modern. Menurut Dr. Yusuf Qhardawi, dalam bukunya as-Siyasah asy-Syar’iyah, semua ini adalah dugaan-dugaan tentang syaria’at yang serampangan, dan bukan hakikat syari’at itu sendiri. Dan menurut beliau, syaria’at yang hakiki adalah syari’at yang diberikan Allah Swt. Untuk memberikan kemudahan kepada hamba-Nya, bukan kesusahan. Untuk menghilangkan ketakutan, bukan sebaliknya. Banyak sekali dalil-dalil yang kita bisa dapatkan, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadist, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185, “Allah menghendaki kemdahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Dan banyak komentar-komentar para ulama salaf maupun khalaf tentang hal ini, diantaranya, apa yang dinukil Ibnu Qayyim dalam kitabnya, at-Turuq al-Hukmiyah, dari al-Allamah Ibnu Aqil al-Hanbali dalam kitabnya, al-Funun, ia berkata, “telah ma`lum, bahwa dalam menjalankan roda kekuasaan diperbolehkan dengan menggunaksn politik syar`i (as-Siyasah asy-Syar`iyyah ), dan Imam Syafi`i juga berkomentar tentang hal ini, “tidak ada politik, kecuali yang singkron dengan syari`at.” Menurut Ibnu Aqil, apabila politik itu semata-semata untuk kemaslahatan manusia, maka politik itu akan berbuah perubahan yang positif dan jauh dari imperessi negatif. Juga contoh Siyasah Syar’iyah yang dilakukan al-Khulafa ar-Rasyidin dan sahabat-sahahabatnya, serta yang menggantikan posisi setelahnya. Diantaranya, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Sidiq, yaitu dengan membakar para homoseksual, agar mereka merasakan panasnya api dunia sebelum akhirat. Juga apa yang dilakukan Umar bin al-Khattab dengan mengumpulkan manusia dalam satu huruf dalam membaca Alqur’an tujuh huruf yang bersumber dari Rasulullah Saw., agar tidak terjadi perpecahan dalam umat Islam. Inilah sedikit dari contoh perpolitikan yang dilaksanakan oleh para pemimpin islam tedahulu, walau mereka tidak menghukumi segala sesuatunya dengan al-Qur’an secara tekstual, tapi tetap bertendensi dengan al-Qur’an. Sejenak kembali menela’ah tujuan-tujuan mulia yang harus selalu berdampingan dan berjalan selaras dengan syari’at, diantaranya, menjaga Agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Tujuan-tujuan ini merupakan refleksi asy-Syari’ah al-Islamiyah untuk selalu menjaga dan mengayomi kehidupan manusia, baik di dunia, maupun akhirat. Harus selalu kita dengungkan, bahwa syari’at yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah syaria’t yang rahmatan lil’alamin. Syariat ini juga merupakan ajaran yang universal, yang mampu menggapai semua aspek kehidupan manusia. Kalau kita analogikan, politik dan agama bagaikan gula dan manisnya, dengan kata lain, agama ini tidak akan berdiri tegak tanpa kekuasaan, dan kekuasaan ini tidak akan tegak tanpa seorang imam, serta imam ini tidak akan birsinerji tanpa adanya ketaatan dari rakyat yang ia pimpin, ini semua merupakan cerminan bahwa campur tangan politik salah satu jalan dari sekian banyak jalan yang dapat ditempuh untuk menuju tujuan yang luhur, dengan memastikan bahwa politik yang digunakan dalam menegakkan agama ini selalu berasaskan syari’at, yang tidak berorientasi pada kekuasaan dan kenikmatan dunia semata.