Selasa, 28 Juli 2009

Dampak Hermenutika Pada Tafsir Al-qur`an


Oleh. Muhammad Bachtiar El-Marzoeq

PROLOG
Ibarat virus ganas yang terus menjalar dan susah untuk mendapatkan vaksin yang tepat untuk membasminya. Liberalisme seakan terus bermanuver tanpa henti dan terus menghantam pemikiran-pemikiran kalangan akademisi kita saat ini. Akhir-akhir ini, kita-umat Islam-dikejutkan oleh berbagai macam serangan arus pemikiran liberal, baik yang dilakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran barat. Dalam ilmu tafsir, dimunculkanlah ilmu hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bibel ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Qur`an. Pemikiran ini terus berkembang dan mengeparkan sayapnya ke berbagai kampus-kampus di negeri kita tercinta, bahkan telah jauh pada tarap pengesahan metodologi ini menjadi kurikulum kampus dan menjadi mata kuliah wajib di jurusan tafsir dan hadist selanjutnya disosialisasikan ke berbagai jurusan lainya. Seakan-akan para petinggi kampus menutup mata akan bahaya yang ditimbulkan oleh perang pemikiran ini. Karena pada dasarnya dikalangan Kristen pun, mereka menolak gerakan liberalisasi itu sendiri.

Kampus-kampus Islam kini makin bertambah jumlahnya. Mahasiswa pun juga bertambah. Namun, tantangan nya pun juga tidak bertambah ringan. Disamping serbuan arus komersialisasi pendidikan, karena kecilnya tanggung jawab pemerintah, masalah yang lebih berat yang dihadapi para akademisi Muslim di perguruan tinggi ialah besarnya serbuan arus pemikiran barat ke dalam studi dan pemikiran islam. Masalah ini semakin berat sejalan dengan semakin berjubelnya ribuan alumni pusat-pusat studi islam di Barat yang kini memegang posisi-posisi penting sebagai dosen dan peneliti di kampus-kampus berlabel Islam. Misi orientalisme Barat telah semakin menunjukan kesuksesannya di Indonesia. Jelas, ilmu penafsiran yang berasal dari dari tradisi di luar islam ini, dulunya tidak dikenal oleh para ulama Islam, jika ilmu ini diajarkan tentu ada maksudnya, yaitu ingin menggantikan metodologi ilmu tafsir yang selama ini kita kenal.

PEMBAHASAN

1.Apa itu Hermeneutika
Secara harfiyah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang mitologis dalam mitologi yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius) dikalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok hermes dengan nabi idris. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang dikemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan Filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu social atau humaniora.
Dalam buku Dr. Shofa Abdul salam Ali Ja`far yang berjudul “Hermeneutika Tafsir Alaslu Fi Amalil Fanni” bahwa istilah hermeneutika bisa ditinjau dari beberapa makna diantaranya:
a. Perkataan. Yaitu penyampaian melalui kata-kata.
b. Penjelasan. Seperti menjelaskan sesuatu hal yang belum dapat difahami.
c. Terjamah. Yaitu menerjemahkan kata dari atau ke bahasa asing.

Adapun tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dalam Bibel, heremeneutika bukan sekedar tafsir melainkan satu metode tafsir tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan dengan metode tafsir Al-Qur`àn. Dikalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bibel sudah sangat lazim digunakan, walaupun masih banyak kontroversi yang terjadi dalam kalangan mereka sendiri. salah satu buku yang dirujuk oleh kalangan akademisi IAIN dalam menulis hermeneutikaadalah buku E. Sumaryono berjudul Hemeneutika: Sebuah Metode filsafat. Buku ini memuat kesalahan yang fatal dalam memandang konsep teks kitab suci agama-agama yang menyatakan bahwa tafsir (Al-Qur`an) sama dengan hermeneutika. Ditulis dalam buku ini: “Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapatkan inspirasi Illahi seperti Al-Qur`an, Taurat, Kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika . Bagi kaum Kristen, realitas teks Bibel memang membutuhkan hermeneutika untuk penafsiran Bibel mereka. Para Hermeneutan dapat menelaah dengan kritis makna teks Bibel yang memang teks manusia, mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi historis, dan makna literal suatu teks Bibel. Perbedaan realitas teks antara teks Al-Qur’an dan teks Bibel juga membawa konsekuensi adanya perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Tetapi metode historis kritis dan analisis penulis tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Qur`an, yang memang merupakan kitab yang tanzil.

2. DAMPAK HERMENEUTIKA
a.Relativisme Tafsir
Pada dampak relativisme Tafsir, para hermeneutan menganut faham bahwa, tidak ada tafsir yang absolute, semua bersifat relative dan bisa berubah sesuai situasi dan kondisi pada saat penafsiran. Semua dipandang personal, temporal, kontekstual, relative. Prof. Amin Abdullah menggambarkan fungsi hermeneutika sebagai berikut. “ Dengan sangat intensif hermeneutika membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah terbatas” Parsial Kontekstual” pemahamannya, serta bisa saja keliru.
Pada konsep relativisme ini, tidak ada sesuatu yang absolut, semua manusia bisa salah, lantas bagaimana dengan nabi Muhammad SAW. Apabila konsep ini sipaksakan untuk diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur`an, maka terbongkarlah konsep-konsep dasar dalam syari`at Islam. Padahal dalam menafsirkan Al-Qur`an para ulama terdahulu kita tidak pernah berselisih akan kewajiban sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, Haji ke Baitullah dan mengeluarkan zakat. Kita tidak mendapatkan dari ulama kita yang menghalalkan perkawinan antar agama, homose ksual, lesbian. Tiba-tiba muncul buku Muslimah Reformis, Prof. Musdah Mulia menyampaikan dalam bukunya tersebut, metode kontekstualisasi untuk sura Al-Mumtahanah ayat 10, yang menjadi landasan pengharaman pernikahan antara muslim dan non muslim. Katanya: jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan itu sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya peperangan antara kaum mikminn dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaskudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana lawan. Karena itu ayat ini harus dipahami secara kontekstua. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya. Akan kah bermunculan lagi Musdah Mulia yang berikutnya, tentu kita tidak mengharapkan hal itu. Adapun bahaya yang akan ditimbulkan dari faham relativisme ini diantaranya adalah:

1. Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas islam, sehingga
beranggapan bahwa, semua hukum Islam bersifat relative.

2. Menghancurkan bangunan Ilmu pengetahuan yang lahir dari Al-Qur`an dan Sunnah
Rasul yang telah teruji selama ratusan tahun.

3. Menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Bagi

mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum islam yang sudah dinyatakan final dan tetap (Tsawabit) akan senantiasa dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.

b. Curiga dan Mencerca Ulama Islam
Para hermeneutan, mereka tidak segan-segan mencerca ulama-ulama islam yan terkemuka, yang menjadi qudwah umat islam selama ratusan tahun, diantara ulama yang mereka gugat adalah Imam Syafi`i. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa selain penemu metodologi studi islam yang brilian yaitu cabang ilmu Ushulul Fiqh, dengan kitabnya Al-Risalah, imam Syafi`ie juga juga sebagai mufassir. Beliau menjadi panutan ulama dan muslimin sedunia. Tapi apa yang dilakukan oleh para hermeneutan, dengan menjadikan imam Syafi`i sebagai bahan kritikan, walaupun sebenarnya sikap mereka tidak berangkat dari studi kritis yang utuh, dan objektif. Dalam buku Fiqh Lintas agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan asian Foundation, disebutkan: “ Kaum muslim lebih suka dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran Fiqh yang dibuat oleh imam Syafi`i. Kita lupa, Imam Syafi`i memang arsitek Ushulul fiqh yang paling brilian, tapi juga karena Syafi`ilah pemikiran-pemikiran fiqh tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi`i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir Fiqih muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi`i itu diposisikan begitu agung, sehingga saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash syar`i (Al-Qur`an dan hadist). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu di bawah kerangka Syafi`i. Dan banyak lagi cercaan-cercaan yang mereka lontarkan kepada ulama-ulama Islam yang telah menjadi panutan umat sejak ratusan tahun lamanya, jika dicermati mereka selau bersikap kritis kepada para ulama Islam dan dengan mudah mengambil perkataan-perkataan pemikir barat tanpa sikap kritis sedikitpun. Para pemikir barat yang sering menjadi rujukan mereka diantaranya, Immanuel Kant, Paul Ricour, Habermas dan sebagainya.

c.Dekonsruksi Konsep Wahyu
Sebagian pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan dan menggugat otentitas Al-Qur`an sebagai kitab yang lafadz dan maknanya dari Allah. Pengguna hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur`an cendrung memandang teks sebagai produk budaya (manusia) dan enggan terhadap hal-hal yang bersifat tresenden. Seorang hermeneut yaitu Nasr Hamid Abu Zaid memandang bahwa Al-Qur`an adalah produk budaya Arab. Dia tidak bisa melakukan penafsiran ala hermeneutika, kecuali dengan terlebih dulu menurunkan derajat al-Qur`an dari teks wahyu menjadi teks yang manusiawi, bahwa Al-Qur`an yang sudah keluar dari mulut nabi Muhammad adalah bahasa Arab biasa, yang difahami oleh orang-orang Arab ketika itu. Pendapat Abu Zaid dan kalangan dekonstruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang Al-Qur`an yang selama ini diyakini kaum Muslimin, bahwa Al-Qur`an, baik lafadz dan maknanya dari Allah. Dalam kensepsi Islam, Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, dan tidak terpengaruh oleh kondisi kejiawaan, sosial dan budaya setempat pada ketika itu. Beliau tidak menambah atau mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Belaiu pun terjaga dari kesalahan, karena beliau Ma`shum.

PENUTUP
Studi kritis dan metodologi seperti hermenetika pada tafsir Al-Qur`an yang mereka tekuni ini, memang suatu hal yang baru dalam khazanah islam. dengan artian, ulama terdahulu kita selalu menempatkan nas-nash syar`i (Al-Qur`an dan hadist) sebagai rujukan pertama dalam menafsirkan Al-Qur`an, bukan pada Historis kontekstual, personal, temporal, relative atau metodologi-metodologi yang selalu mengedapankan rasional dan daya nalar manusia yang bersifat terbatas sebagai landasan. Dengan tujuan Al-Qur`an bukanlah lagi sesuatu yang sakral dan absolute, yang semua manusia mempunyai hak untuk menginterpretasikannya sesuka hati. Dan kita mempunyai tanggung jawab besar akan hal ini, agar hegemoni pemikiran barat terutama pada bidang studi islam tidak serta merta memporak porandakan konstruksi syari`at islam kita yang luhur. Wallahu A`lam Bissawab