Senin, 05 Juli 2010

DIKTATORKAH SYARIA’AT KITA?



Pena: Muhammad Bachtiar El-Marzoeq

Mayoritas ulama kita sepakat, bahwa setiap syari’at yang diturunkan Allah SWT mempunyai tujuan yang umum, dan semua tujuan-tujaun syari’at itu dimaksudkan untuk mewujudkan suatu manfa’at dan mencegah kerusakan, membebaskan alam semesta dari segala bentuk epedemi alam.

Dan mengetahui tujuan-tujuan dari syari’at itu penting untuk memahami nash-nash syar’i, karena dalam realitanya, dengan perkembangan zaman dan globalisasi dunia yang terus maju pesat, yang kemudian masuk ke semua sendi kehidupan manusia, itu semua menuntut manusia tidak terkecuali kita sebagai seorang muslim untuk selalu maju dan berkembang. Sebagai muslim dan pewaris bumi ini, kita bertanggung jawab untuk memakmurkannya, dan menjaganya dari kerusakan, kitapun harus terus maju, bergerak dan mengikuti perkembangan globalisasi ini, karena islam itu sendiri adalah agama gerak yang menuntut pemeluknya agar selalu dinamis bukan stasis, dan aktif bukan pasif

tetapi, disamping kita ditutuntut untuk itu semua (Red; selalu gerak dan dinamis) tidak serta merta kita melupakan syari’at dan tuntunan agama, membuangnya jauh-jauh dari kehidupan kita dengan alasan relevansi dan bersinerjidengan jaman, karena itulah yang membedakan kita dengan mereka (Red: tidak mempercayai syari’at islam) yang tidak lagi memperhatikan batas-batas syari’at. Dengan syariat, kita selalu dituntut untuk terus berjalan dibawah manhaj Illahi yaitu dibawah naungan syari’at islamiyah kapanpun dan dimanapun. Lalu dalam realitanya banyak sekali fenomena –fenomena kehidupan yang kita jalani sekarang yang tidak bisa kita dapatkan hukum-hukum yang eksplisit untuk menjadikannya pedoman, maka dari itu kita dituntut untuk berijtihad, dengan batasan bahwa seorang mujtahid (yang berijtihad) memang kapabel dalam masalah ijtihad, karena pintu ijtihad akan selalu terbuka bagi orang yang benar-benar telah mempenuhi syarat-syarat untuk berijtihad.

sebagai muslim kita harus meyakini bahwa setiap syari’at yang kita jalani dalam kehidupan ini tentu mempunyai maksud dan tujuan, dan dia (red: syari’at) tidak bersifat diktator ataupun semena-mena dalam mengatur kehidupan manusia tanpa ada alasan yang jelas, semua itu bertujuan untuk memberikan kemudahan manusia dan kebahagian hidup dunia dan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah yang atrinya” sesunggunhnya akun diutus dengan agama yang torelir”. KArena pada dasarnya syaria`ta samawi yang turun melalui baginda nabi besar Muhammad Saw adalah risalah penutup yang tahu akan kebutuhan manusia. Marilah seksama kita perhatikan dalil-dalil yang menyatakan bahwa syari`at kita tidaklah diktator:

1.Dalil melalui Methode Induktif

Yaitu dengan mengambil konklusi dari sebuah esensi syari’at dengan menelitinya dan juga dengan kembali pada perkataan para ulama yang berkompeten dalam bidang tersebut, yaitu dengan tidak langsung bersandar pada nash secara lansung akan tetapi melalui kesepakan antara para ulama yang beijtihad. Melalui methode ini kita bisa menggunakannya dengan dua cara yaitu:

a.Dengan meneliti sebab-sebab suatu hukum, karena dengan mengetahui penyebab dari suatu hukum, kita bisa mengetahui tujuan atau dari syari’at itu dengan mudah, contoh: Apabila kita mengetahui sebab dari pelarangan jual beli Al-muzabanah (Red; yaitu jua beli segala sesuatu yang kering dengan yang basah) Dalam hadist yang shahih Rasulullah pernah tentang jual beli buah kurma kering dengan yang basa: Apakah buah kurma yang basah itu bisa berkurang beratnya ketika kering, maka rasul berkata: iya, maka dari itu jangan lakukan. Dari hadist ini kita bsa mengambil konklusi bahwa, sebab dari pengharaman jual beli tersebut adalah, ketidaktahuan si penjual atau pembeli dengan ukuran barang tersebut.

b.Dengan meneliti dalil-dalil yang terdapat pada suatu hukum, bersamaan dengan sebab pada hukum tersebut yang bisa meyakinkan kita bahwa sebab itu merupakan tujuan dari ajaran tersebut. Contoh: Islam melarang muslim untuk menimbun makanan dengan berpedoman dari sebuah hadist yang dikeluarkan Muslim dari Ma`mar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya “ Barang siapa yang menimbun makan maka dia telah melakukan kesalahan” pelarangan ini dikarenakan, penimbunan makanan bisa menyebabkan pengurangan stok makanan yang berada di pasar.

2.Dalil Qur’an dan Sunah

Apabila kita telisik lebih dalam lagi, kita dapatkan bahwa dalil-dalil yang terdapat pada Qur’an dan sunah, semua mengacu pada penetapan bahwa, setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT mempunyai tujuan yang mulia, demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat.

a.Dalil Al-Qur’an
a.1 Dalil yang berkenaan dengan pengutusan Rasul.

Banyak sekali dalil dari nash Al-qur`an yang menerangkan bahwa maksud dari pengutusan Rasul adalah sebagai rahmat, dan pembimbing manusia kepada jalan kebenaran. Seperti dalam salah satu firman Allah SWT yang artinya” Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh ala”. Ayat ini dengan eksplisit menjelaskan kepada kita bahwa, tujuan dari pengutusan Rasul ialah agar menjadi rahmat bagi seluruh alam.

a.2 Dalil yang berkenaan dengan ibadah.

Tujauan dari syariat shalat, Allah berfirman yang artinya” Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar”

Tujauan dari syariat zakat, Allah berfirman yang artinya” Ambillah Zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan”

Tujauan dari syariat puasa, Allah berfirman yang artinya” Agar kamu bertakwa”

Tujauan dari syariat Haji, Allah berfirman yang artinya” Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka

b. Dalil Al-hadist

Dari hadist-hadist nabi yang menetapkan esensi syariat diantaranya:

Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi” La Dhororo Wala Dhiroor”. Dhoror artinya usaha manusia untuk memberikan mudharat pada dirinya dan orang lain, adapun Dhiroor adanya timbal balik manusia untuk memberikan mudharat. Dan hadist ini merupakan salah satu pondasi yang kuat untuk menghilangkan segala bentuk kemudharatan sesama muslimin. Tidak akan pernah ada syaia’at islam yang turun, kecuali bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.


Dengan dalil-dalil diatas kita dengan yakin mengetahui bahwa, setiap syari’at islam yang diturunkan mempunyai tujuan yang mulia demi mewujudkan kebahagiaan manusia dunia dan akhirat, penulis pribadi menolak faham-faham yang dilontarkan sebagian golongan manusia yang mengatakan bahwa islam tidak lain hanyalah produk kebudayaan, kita menolak faham mereka yang menyatakan bahwa syaria’at islam sudah tidak relevan lagi, kita menolak faham mereka yang menyatakan bahwa syaria’at islam hanya untuk mengagungkan bangsa arab. Semua faham ini dibantah oleh DR. Yusuf Qordhowi yang mengatakan bahwa syariat islam akan selalu relevan kapanpun dan dimanapun, karena syari’at islam disamping bersifat Tsawabit (tetap) dia juga Murunah (elastis) alias tidak kaku, oleh karena itu ajaran Islam yang bersifat elastis bukan pada hukum yang tsawabit (tetap) akan selalu berubah mengiringi perkembangan zaman, sampai hari dimana semua penduduk alam ini tahu dan sadar akan mulianya syari’at kita. Wallahu A`lam Bil-Alsowab

Sabtu, 03 Juli 2010

POLEMIK HUKUM BUNGA BANK DALAM ISLAM


Oleh: Muhammad Bachtiar El-Marzoeq

Prolog
Dalam pandangan Islam, bunga bank masih terus menjadi polemik, dan polemik ini akan terus hangat untuk diperbincangkan, karena dia berjalan seiring dengan dinamika perekonomian dunia yang tidak kunjung stabil. Sebut saja krisis global yang terjadi baru-baru ini merupakan bukti yang real atas kegagalan sistem perekonomian berasaskan Ribawi yang dimotori oleh kapitalisme. Islam sebagai agama Rahmatan Lil-Alamien (Universal) telah memberikan solusi dari berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam masalah perbangkan, dengan perkembangan bank-bank syari`ah yang sangat signifikan dari hari kehari, merupakan bukti nyata bahwa Islam adalah solusi bagi perekonomian dunia, karena pada hakekatnya sistem perekonomian yang berbasis pada prisnsip syariah (Islamic economic system) adalah sistem samawi yang langsung turun dari langit berupa wahyu kepada nabi Muhammad Saw, dan syariat yang dibawanya tentu sangat faham dengan kondisi manusia dan segala kebutuhannya.
Pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengkaji sedikit tentang kontroversi halal-haramnya bunga bank (Fawaidu Al-bunuk ), sistem ribawi yang kian tumbuh subur oleh pupukan bank konvensional. disertai dengan pembahasan konsep Islam tentang riba. Dengan segala keterbatasan yang penulis miliki, maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis butuhkan. Atas kritik dan sarannya saya ucapkan terima kasih.

Pembahasan
Sebelum kita jauh membahas tentang kontroversi hukum bunga bank ini, ada baiknya jika kita sedikit membahas sekelumit tentang konsep Islam tentang riba, karena riba dan bunga bagaikan buah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Semua ulama Islam baik dari Salaf ( red: terdahulu) maupun khalaf (red: kentemporer) sepakat tentang perngharaman riba dengan nash Qur`an yang sarih (red: jelas) yaitu pada surat Al-Baqarah ayat 278-279, Ar-Rum ayat 39, dan Ali- Imran ayat 30, akan tetapi permasalahan yang masih mereka perdebatkan adalah, apakah mua`malah tersebut (red: buga bank) termasuk pada interaksi riba atau tidak?

BAB I
RIBA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Defenisi Riba
Riba secara bahasa bermakna (Ziyadah (tambahan. Yaitu tambahan dari harta pokok atau modal. Dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berbarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, ada beberapa pendapat , Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Adalah Riba Haram (Fawaid Al-Bunuk Hiya Riba Al-Haram) berpendapat bahwa setiap yang bertambah dari harta pokok atau modal adalah riba sedikit dan banyaknya tambahan itu, dan juga setiap tambahan pada harta pokok atau modal yang disyaratkan di muka adalah riba . Adapun secara umum riba dalam istilah syar`i adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Bisa kira rincikan sebagai berikut:
1. Riba Hutang Piutang
Jenis riba pada jenis hutang piutang terbagi menjadi dua jenis diantaranya adalah:

a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan kepada yang berutang (Muqtaridh)
b. Riba Jahiliyah
Hutang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutang pada waktu yang ditentukan

2. Riba Jual Beli
Adapun pada jenis riba jual beli juga terdapat dua jenis ialah:

a. Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam sejenis barang ribawi, seperti uang dengan uang, atau makanan dengan makanan dengan tambahan. Keharaman riba ini dikuatkan dengan Sunah dan Ijma` karena ia bisa mengantarkan si pelaku pada riba Nasi`ah
b. Riba Nasi`ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi`ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan dikemudian hari. Pembagian empat jenis riba ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam bukunya az-Zawajir Ala Iqtiraaf al-Kabaair, vol II, hlm.205. Dan beliau menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara Ijma` berdasarkan nash Al-Qur`an dan Hadits Nabi.

Jenis-jenis Barang Riba
Adapun jenis barang yang termasuk barang riba ada enam macam, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir kurma dan garam. Dalam hal ini Rasulullah Saw menyebutkannya dengan jelas dalam salah satu hadits yang diriwiyatkan oleh Muslim dari Ubadah Bin Shamit berkata: Rasulullah saw bersabda: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu apabila tunai engan tunai.

Adapun alasan dari pengharamannya adalah, dikarenakan enam barang-barang ini merupakan bahan pokok kebutuhan manusia. Emas dan perak adalah dua unsur yang sangat asas dalam uang dan alat transaksi dalam jual beli. Adapun empat unsur yang lainnya adalah unsur-unsur pokok makanan sebagai penopang kelanjutan hidup manusia. Apabila terjadi riba pada keenam jenis ini maka akan menyebabkan mudharat bagi kehidupan manusia, oleh karena itu syari`at melarangnya demi memelihara kemaslahatan manusia.

BAB II
POLEMIK HUKUM BUNGA BANK

Membungakan Uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko karena perolehan kembalianya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Dan bunga Bank itu sendiri adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu, yang disebut suku bunga modal. Pada bab ini kita akan mengkaji sedikit tentang polemik yang terjadi dalam menetapkan hukum halal-haramnya bunga bank, dengan mengemukakan alasan-alasan yang mereka gunakan dalam melegalkan argumen mereka.

Bunga Bank Haram
Mayoritas ulama di seluruh belahan dunia, sepakat bahwa bunga bank adalah riba haram (al-Riba al-Muharram) berikut ini saya ketengahkan fatwa-fatwa tentang haramnya bunga bank dari berbagai organisasi nasional dan internasional, diantaranya adalah:

Ormas Indonesia

1. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi keungan diluar zakat, meliputi masalah perbangkan (1968 dan 1972), keungan secara umum, (1976) dan koperasi simpan pinjam (1989). Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:
Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan As-Sunnah
Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat.
Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbangkan, yang sesuai dengan kaidah Islam.


2. Lajnah Bahsul Masa`il Nahdatul Ulama

Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini.
a. Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Syubhat (tidak tentu halal-haramnya), sebab para ahli hukum berselesih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (piliihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.

Organisasi Internasional
1. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua pesrta sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, desember 1970, telah meneyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut.
Praktik bank degan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syari`ah.


2. Lembaga Riset Agama Islam Dunia (Majma` al-Buhuts al-Islamiyah)

Muktamar islam kedua yang dilaksanakan oleh Lembaga Riset Agama Islam Dunia (Majma` al-Buhuts al-Islamiyah) di Kairo pada bulan Muharram tahun 1385 Hijriyah, bertepatan dengan bulan Mei 1965 Miladiyah, yang dihadiri oleh 35 Negara Islam memutuskan sedikitnya 5 point penting diantaranya:
Tambahan yang terdapat pada semua hal pinjam-meminjam hukumnya haram, baik pinjaman itu berupa kredit konsumtif atau kredit produktif, berlandaskan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedikit dan banyaknya riba adalah haram, dengan nash Al-Qur’a yang sharih Allah Swt berfirman yang artinya: Hai orang-orang yag beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.(Qs Ali-Imran: 130). Kegiatan meminjam dan meminjamkan dengan unsur riba adalah haram, kecuali jika dalam keadaan terpaksa.

Bunga Bank Halal
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal mempunyai beberapa alasan dalam pembenaran pengambilan riba, diantara alasan-alasan tersebut adalah:

1. Dalam keadaan darurat, bunga bank halal hukumnya.
Alasan darurat inilah yang digunakan Syeikh Syaltut, mantan Syaikh Al-Azhar, untuk meghalalkan bunga bank, beliau pernah berkata: Bila keadaan darurat, baik darurat individu atau maupun sosial maka boleh dipungut bunga itu. Namun yang harus kita ketahui, adanya pengakuan yang dikeluarkan oleh direktur kantor beliau, mengatakan bahwa Syeikh Syaltut mencabut fatwanya tersebut secara lisan ketika menjelang kematiannya.

2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak menzalimi, diperkenankan.
Pada alasan ini Dr. Yusuf Qardawi angkat bicara dengan mengatakan bahwa, pelegalan semacam ini telah dihembuskan lama semenjak awal abad ini dengan berpedoman pada ayat 130 dari surat Ali-imran, Allah Swt berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yag beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. Dr. Yusuf Qardawi berkata: Sebagaimana telah kita ketahui bahwa penyifatan riba dengan kalimat Adh`afan Mudha`afah ini adalah menerangkan kondisi yang terjadi pada waktu itu, bangsa arab kali itu benar-benar telah melampaui batas dalam melakukan transaksi ribawi hingga berlipat-lipat ganda. Maka pengecualian pada alasan ini benar-benar jauh dari kebenaran.

3. Bank sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf . Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
Ada sebagian ulama berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keungan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian, BCA, Danamon, atau Bank Lippo tidak terkena hukum taklif karena pada saat nabi hidup belum ada. Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis, diantaranya:
Tidaklah benar bahwa pada zaman pra Rasulullah Saw tidak ada badan hukum sama sekali. Sejaran Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keungan yang dapat pengesahan dari pihak penguasa. Dalam Tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau Syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseuruhan.
Dilihat dari sisi mudharat yang akan ditimbulkan, perusahaan dapat melakukan mudharat yang lebih besar dari perseorangan.

Epilog
Dengan penyajian dua bab yang sederhana diatas, paling tidak sudah tergambar dibenak kita beberapa sebab perbedaan antara ulama kita dalam berfatwa tentang halal-haramnya bunga bank. Dan yang harus kita ketahui, pada dasarnya tugas bagi seorang Mufti (orang yang berfatwa) hanya sebatas menjelaskan suatu hukum syar`i dalam suatu permasalahan, dan bukan bersifat memaksa. ( Idz Minal Ma`ruuf Bayna Ahlil Ilmi, Anna Waziifatal Muftii, Bayaanul Hukmi al-Syar`i Walaysa Min Waziifatihi Al-Il-zaam Bihi Fi `Aammati al-Ahwaal. Wallahu Min Waro`i Al-Qosdi, In urîdu illa al-ishlâh ‘alaihi tawakkaltu wailaihi unîb.