Rabu, 04 November 2009

PERCERAIAN ISLAMI, APA DAN BAGAIMANA?

Oleh: Muhammad Bachtiar El-Marzoeq
PROLOG
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, seorang muslim dituntut untuk senantiasa menjaga kerukunan dan keharmonisan didalamnya, baik suami kepada istri ataupun sebaliknya, agar romantika rumah tangga terus berkesinambungan dan senantiasa dalam naungan keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Akan tetapi dalam perjalanannya, keharmonisan itu pun datang dan pergi, terombang ambing oleh keganasan badai problematika kehidupan yang ganas, mereka terperangkap dalam keadaan, yang sukar bagi mereka untuk mencari jalan keluar, mereka dituntut untuk mengambil suatu keputusan yang sebenarnya tidak diinginkan. Akhirnya, perceraianlah jalan satunya-satunya. Baiklah pada kesempatan diskusi kita kali ini, marilah kita bahas bersama selintas tentang perceraian dan naungan agama islam dalam memandang perceraian.

PEMBAHASAN
1. Pengertiaan Talaq
Talaq secara etimologis berarti membebaskan suatu ikatan, kata talaq merupakan kata jadian dari kata Al-ithlaq yang artinya Al-tarku yaitu meninggalkan. Adapun secara terminologis talaq berarti membebaskan ikatan pernikahan dengan kata talaq atau sejenisnya.

2. Syari’at Talak
Talaq merupakan salah satu syaria’at islam, yang bisa kita dapatkan dalam kitab, sunah, ijma’ dan akal . Mari kita ketahui satu persatu dalil-dalil tersebut:
a. Dari Kitab
Firman Allah SWT yang artinya: Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS: Al-Baqoroh ayat 229)
b. Dari Hadist
Sebuah hadits nabi yang bersumber dari Umar Ra, rasulullah SAW bersabda yang artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW mentalak Istirnya Hafsah kemudian kembali dengannya.
c. Ijma’ dan Akal
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: Manusia sepakat tentang bolehnya talak, dengan alasan-alasan yang menunjukan akan kebolehannya, diantaranya ketika keadaan rumah tangga yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dengan mempertahankannya akan ada kemudaratan.

3. Hukum Talaq

Adapun hukum talaq, ulama sepakat bahwa hukumnya bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu, antara lain:
a. Haram
Seperti talaq yang dilakukan pada wanita yang sedang haid, atau apabila seorang itu takut bahwa dengan talak itu dirinya bisa terjerumus pada perzinahan.
b. Makruh
Ketika talak itu sendiri tidak dibutuhkan, dan harmonisnya kehidupan rumah tangga.
c. Mubah
Ketika seorang istri lalai dalam menenuhi hak-hak Allah SWT yang wajib dipenuhi seperti salat atau sejenisnya dan tidak mungkin lagi untuk memaksanya.
d. Mustahab
Ketika talaq itu sangat diperlukan karena buruknya perilaku seorang istri dan timbul problema yang terus berkelanjutan apabila tidak dilakukan perceraian.
e. Wajib
Seperti Ilaa. Meng-ilaa isteri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpa ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat 226 pada surat Al-Baqarah, maka suami setelah empat bulan harus memilih antara harus menyutubuhi istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikannya

4. Syarat Talaq

Untuk Syahnya Talaq, diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah:
a. Muthaliq (yang menceraikan)
1. Harus dari seorang suami
firman Allah SWT yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan. (QS: Al-Ahzab, ayat 49)
2. Baligh
Mayoritas ulama bersepakat tentang tidak sahnya talaq seseorang yang belum baligh, kecuali ulama-ulama dari kalangan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa seorang yang telah Mumayyaz sah perceraiannya dikarenakan kemampuannya untuk berpikir, bersandar dengan hadist dari Abdurrazaq yang artinya: Semua talak boleh kecuali talak seseorang yang ma’tuh yang tidak dapat lagi berpikir.
3. Berakal
Talaq Tidak sah apabila keluar dari orang yang gila atau idiot, hukum ini bersumber dari hadist nabi yang keluarkan oleh imam ahmad, daus, Nasa’i dan Ashabussunan, yaitu yang artinya: Telah diangkat pena dari tiga orang, bagi orang yang tidur sampai dia terbangun, bagi anak kecil sampai ia dewasa, bagi orang gila sampai ia sadar.
b. Muthalaq (yang ditalak) yaitu harus adanya hubungan suami istri dari pernikahan yang sah dan seorang suami harus menentukan perceraian itu dengan isyarat, sifat atau niat
c. Bentuk Talaq
Pengungkapan kata talaq merupakan dasar dari talaq itu sendiri namun kata ini bisa diganti dengan ungkapan-ungkapan yang bisa mewakilinya, sesuai dengan keadaan, baik berupa tulisan ataupun isyarat

1. Lafadz Talaq
a. Sharih:
Yaitu ungkapan yang digunakan dengan lafadzh Al-talaq itu sendiri, secara langsung, bisa difahami dan tidak mengandung arti lain, seperti perkataan seorang suami kepada istri” kamu saya talaq” redaksi talaq ini banyak sekali kita dapatkan dalam Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Talaq ayat 1 yang artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).
Namun demikian dari kalangan ulama, mereka masih berlainan pendapat tentang lafadzh sharih ini, dari ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan Dzahiriyah berpendapat bahwa lafadzh firaq dan sirah juga bagian dari lafadzh sharih, adapun dari kalangan ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa lafadzh sharih hanya lafadzh talaq itu sendiri
b. Kinayah
Yaitu ungkapan yang digunakan dengan lafadzh selain kata talaq, yang menjadikan kata itu tidak langsung difahami. Contoh kata kinayah diantaranya: Kamu telah bebas, kamu telah pisah dan sejenisnya. Abu Muhammad Ibnu Hazm berpendapat bahwa talaq tidak akan jatuh kecuali dengan salah satu kata dari tiga kata yang terdapat dalam AlQur’an yaitu kata, Sirah (Bebas), Firaq (Berpisah) Talak (Cerai).

2. Talaq Dengan Tulisan
Dengan tulisan seorang suami bisa menjatuhkan talaqnya, walaupun dia sanggup untuk berbicara. pendapat ini didukung oleh empat imam mazhad dan juga banyak dari golongan ulama.

3. Talaq Dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu untuk bisa berbicara, maka talaq dengan memaki isyarat tidak sah menurut pendapat mayoritas ulama kecuali Malikiyah. Adapun bagi orang yang bisu mayoritas ulama mengesahkan talaq mereka. Dari golongan Hanafiyah dan perkataan Syafi’iyah mereka berpendapat bahwa bagi orang yang bisu talaq dengan memakai isyarat bisa sah apabila mereka tidak mampu untuk menulis, namun jika sebaliknya maka tidak sah, karena tulisan menurut mereka lebih jelas.
d. Saksi Dalam Talaq
Jika kita bertedensi dari Al-Qur’an, penjatuhan talaq haruslah dengan saksi, ini dijelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah nereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.(QS: Ath Thalaq, Ayat 2). Namun masalah saksi ini pun masih banyak silang pendapat antara ulama diantaranya:

1. Mayoritas Ulama khalaf dan Salaf dari mereka empat imam
dan selain mereka dari golongan ulama berpendapat bahwa penjatuhan talaq harus dengan saksi, namun menurut mereka, perintah untuk mendatangkan saksi yang terdapat pada ayat Al-Qur’an diatas bukan perintah yang bersifat wajib akan tetapi bersifat Al-Nadbu (penganjuran) dengan dalih: Talaq itu sendiri adalah merupakan hak mutlak bagi seorang suami, dari itu tidak memerlukan kembali kesaksian.

5. Macam-Macam Talak

a. Talak Raj’i:
Pada talaq ini seorang suami masih diperbolehkan untuk kembali kepada istrinya, tanpa didahulukan akad baru, walau tanpa rida seorang istri, dan ini terjadi pada talak pertama dan kedua bukan pada talak ba’in. Namun apabila rujuk dilakukan setelah habis masa `iddah (tungu) maka status talaq berubah menjadi talaq bain.
b. Talaq ba’in
Talaq Ba’in yaitu talaq yang telah jatuh tiga kali, termasuk di dalamnya talaq yang jatuh pada seorang istri yang belum dicampuri serta talaq melalui jalan harta, yang sering disebut dengan khulu’. Talaq ba’in ini bisa kita bagi menjadi dua macam:
- Talaq Ba'in sughra
Talaq ini menghilangkan ikatan suami istri, Pada kondisi seperti ini seorang istri tidak lagi halal untuk dicampuri. Bagi suami yang ingin kembali pada istrinya harus melalui akad dan mahar yang baru, tanpa harus menunggu pernikahan dengan suami yang lain.
- Talak Ba’in Kubra
Talaq ini menghilangkan ikatan suami istri, dan pada kondisi seperti ini seorang istri tidak lagi halal untuk dicampuri. Bagi suami yang ingin kembali pada istrinya harus melalui akad dan mahar yang baru, dengan harus menunggu pernikahan dengan suami yang lain.

6. Masa Tunggu (‘Iddah)

a. Pengertian ‘Iddah
‘Iddah secara etimologis berarti menghitung, terambil dari kata bahasa Arab yaitu Al-iddu Wa Alhisab. Adapun secara terminologis Iddah berarti Masa yang ditentukan syaria’at setelah terjadinya perceraian, dan wajib bagi seorang istri untuk menunggu tanpa adanya hubungan suami istri sampai habis masanya.
a. Hukum ‘Iddah
Ketika ada penyebab, hukum ‘iddah wajib bagi seorang istri, hukum ini dikuatkan oleh Al-Qur’an, Sunah dan Ijma’

1. Dari Al-Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya: Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. (QS: Al-Baqarah ayat 228)
2. Dari Sunah diantaranya, hadist yang dikeluarkan oleh Bukhari dan juga Muslim bahwasannya Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Tidak halal bagi seorang bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk berkabung atas mayit (selain suaminya) diatas tiga hari, kecuali atas suaminya maka masanya selama empat bulan sepuluh hari.

b. Macam ‘Iddah
‘Iddah bisa kita klasifikasikan dalam tiga bagian yaitu:

1. Iddah Quru’
Istri-istri yang terkena ‘iddah pada bagian ini adalah istri yang telah dicampuri dan haid. Allah SWT berfirman yang artinya: Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru. (QS: Al-Baqarah ayat 228)

2. ‘Iddah dengan Melahirkan
Batas ‘iddah seorang istri ketika hamil adalah setelah melahirkan. Baik pada talaq bai’n maupun raj’i, dengan firman Allah SWT yang artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya mereka yaitu ada;ah sampai mereka melahirkan. (QS: Ath Thalaq ayat 4)

3. ‘Iddah dengan bulan
a. Istri yang terkena ‘iddah dengan bilangan bulan adalah istri tidak Haidh, maka mempunyai masa tunggu tiga bulan bersandar dari firman Allah Al-Qur’an pada surat Ath-Talaq ayat 4 yang artinya: Dan perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan. (QS; Ath-Thalaq. Ayat 4)
b. Almuthlaqah Almurtabah
Yaitu wanita yang haid kemudian dengan sebab yang tidak diketahui haidnya terhenti, tanpa kehamilan ataupun menopause, pada kondisi seperti ini apabila terjadi perceraian, maka seorarang istri terkena masa ‘iddah selama Sembilan bulan, sama dengan masa ‘iddah seorang yang hamil agar dapat diketahui kosongnya rahim, dengan tambahan tiga bulan sehingga lengkap satu tahun, setelah masa tunggu ini seorang istri diperbolehkan untuk menikah lagi.
c. Wanita yang meninggl dunia suaminya
Wanita yang ditinggal mati suaminya setelah pernikahan yang sah, baik meninggalnya setelah dicampuri atau tidak dengan syarat tidak dalam keadaan hamil, maka masa tunggu yang dimiliki adalah empat bulan sepuluh hari dari bulan Qamamriyah, dimulai dari hari wafat suaminya, dari keumuman firman Allah SWT yang artinya: Orang-oramg yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menagguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS: Al-Baqarah ayat 234)

EPILOG
Semoga dengan makalah yang singkat ini, dapat menambah pengetahuan kita tentang khazanah turast islami terutama dalam pembahasan Fiqih, cabang ilmu yang sangat dibutuhkan dalam menuntun kehidupan seorang muslim. Wallahu A'lam Bissawab.

Tidak ada komentar: