Minggu, 13 Desember 2009
Ghadir Khum Antara Keyakinan Ahli Sunah Dan Syi'ah
Oleh: Muhammad Bachtiar Elmarzoeq
Dalam studi Islam, tentu kita sering sekali berinteraksi dengan segudang perbedaan (red:Ikhtilaf) yang terjadi antara para Ulama kita dalam memahami sebuah nash syari' yang ada tidak bersifat eksplisit. Sebagai insan akademis kita senantiasa dituntut untuk bersikap kritis terhadap pendapat mereka, bukannya sok pinter loh,tapi tidak lain agar kita tidak semerta-merta menganggap bahwa kebenaran yang absolute hanyalah pada madzhab tertentu, meski pendapat mazhab ini harus berbeda dengan kebanyakan ulama (red: Al-Jumhur Al-ulama). Ini sangat berbahaya, karena sikap ini akan menimbulkan panatisme buta. Yang perlu kita ketahui, salah satu sebab terjadinya perbedaan antara ulama kita adalah perbedaan mereka dalam memahami sebuah nas, baik itu Qur'an ataupun Hadist.
Studi kritis kita kali ini tertuju pada sekte Syiah, yang mana sekte ini masih berdiri kokoh sampai sekarang, bahkan menjelma sebagai momok yang sangat menakutkan bagi dominasi peradaban Barat.Syiah, sebagai sekte pengikut sayyidina Ali ra dan anak-anaknya sekaligus mereka meyakini kepemimpinannya setelah sepeninggalnya nabi, berkeyakinanbahwa banyak sekali dalil-dalil dari nas yang membuktikan dan menguatkan faham mereka. Dalam buku Al-Syia'ah Wa Al-Tasyayu' Li Ahli Bait, karya Dr Ahmad Rasim Nafis, cetakan Pustaka Al-Syuruq Al-Dauliyah, sedikitnya disebutkan lima peristiwa yang digunakan Syiah untuk menguatkan faham mereka diantaranya adalah: Hadist Al-Manzilah, Hadist Al-Tsaqolain, Hadist Al-Kisa' dan hadist Al-Daar. Namun studi kritis kita kali ini difokuskan pada peristiwa Ghadir Khum.
Dalam Shahih Muslim bab Fadhail Ali Bin Abi Thalib disebutkan bahwa Ghadir Khum Adalah lembah air yang terdapat diantara Makah dan Madinah. Tepatnya di Juhfah. Dalam kitab Ma'a Itsna Asyariyah Fil usul Wa Alfuru' karangan Prof.Dr. Ali Ahmad Al-Salusi menyatakan bahwa kabar tentang Ghadir Khum ini merupakan sandaran pertama bagi SyiahJa'fariyah, mereka berpendapat bahwa ketika rasul berada di Ghadir Khum setelah sekembalinya dari haji Wada', beliau menjelaskan kepada seluruh kaum muslimin dan berwasiat bahwa kepemimpin setelah beliau akan dipegang oleh Ali Bin Abi thalib. Untuk mengukuhkan faham ini kalangan Syi'ah Ja'fariyahmenyusun enam belas jilid kitab yang berjudul Al-Ghadir Fil kitab Wa Al-Sunah Wa Al-Adab tidak lain guna jastifikasi keapsahan dalil ini.Mari kita kaji dalil-dalil yang mereka gunakan untuk mengukuhkan peristiwa ini dan tanggapan ulama dari berbagai disiplin ilmu diantaranya:
1.Al-Qur'an
Dari Al-Qur'an mereka mengklaim bahwa sedikitnya ada tiga ayat yang menguatkan kejadian ini, yaitu dua ayat pada surat Al-Maidah, dan ayat pertama pada surat Al-Ma'arij. Pada surat Al-Maidah Allah Swt berfirman yang artinya: Hai rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya, Allah memeliharamu dari (gangguan)manusia. Sesunguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(Qs: Al-Maidah ayat: 67).Syi'ah Ja'fariyah mengklaim bahwa ayat ini turun pada Ali ra, bukan hanya itu, bahkan mereka menyebutkan beberapa sebab turunnya ayat ini diantaranya perkataan Thusi tentang sebab turunnya ayat ini:
a.A'isyah berkata: Bahwa turunnya ayat ini untuk menghilangkan kekeliruan bahwa rasul menyembunyikan wahyu guna untuk bertaqiyyah.
b.Abu Ja'far dan Abu Abdillah Alaihima Assalam berkata: Ketika Allah Swt menurunkan wahyu kepada nabi untuk menjadikan Ali sebagai khalifah setelahnya, dia takut tindakan ini akan memecah belah keharmonisan dikalangan sohabi (red:sahabat-sahabatnya), maka diturunkanlah ayat ini sebagai motivasi dalam melaksanakan perintahNya.
Tanggapan ulama tentang dalil ini diantaranya:
a.Imam Thabari dalam tafsirnya Jami'ul Bayan 'An Ta'wilil Ayil Qur'an berkata bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan kepada ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani dan menjelaskan tentang keberanian mereka dalam merubah dan menyelewangkan Taurat dan Injil, hinanya makanan dan minuman mereka termasuk di dalamnya kaum musyrikin. Agar nabi tidak gentar dalam menyampaikan wahyu ini karena banyaknya jumlah mereka maka Allah Swt menurunkan ayat ini, dan menjelaskan kepada nabi bahwa tidak ada yang patut ditakuti selain Allah Swt. Sayangnya dalam menyebutkan sebab turunnya ayat ini, imam thusi tidak mendiskusikannya terlebih dahulu, dan tidak mengadili dari perkataan-perkataan di atas yang tepat baginya.
b.Adapun tentang sebab turunnya ayat ini, banyak dari kalangan ulama hadist meriwatkan hadist tentang turunnya ayat ini, diantaranya Muslim, Turmudzi, Nasai'. Dan pada Sohihaini (red: Bukhari dan Muslim) dari A'isyah ra, ia berkta: kalau seandainya Muhammad Saw menyembunyikan sesuatu dari wahyu Allah Swt, pasti ia akan menyembunyikan ayat ini.
2.Al-Sunah
Adapun dari Sunnah, Ja'fariyah berdalih dengan isi khutbah pada haji Wada' nabi Saw di Arafah. Antara Ja'fariyah dan Jumhur mereka tidak berselisih pendapat seputar makna khutbah nabi, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq kecuali pada sabda nabi yang artinya" Telah aku tinggalkan bagimu, apabila kalian berpegang teguh padanya, niscahya kalian tidak akan sesat selama-lamanya, perkara yang sangat jelas yaitu Kitabullah da Sunan Nabi-Nya. Akan tetapi dari golongan Ja'fariyah mereka menganggap bahwa Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh pada Kitab dan Itrah(red: keluarga) pada khutbah Ghadir Khum. Dari ungkapan in bukan berarti Ja'fariyah menafikan ketaatan pada rasul, karena pendapat ini hanya dilontarkan oleh orang-rang non muslim, akan tetapi Ja'fariyah berpendapat bahwa para imam adalah orang yang ma'sum, dan perkataan mereka seperti perkataan Rasulullah Saw, dan perkataan mereka juga termasuk kedalam Al-Sunnah Al-Muthahharah . maka dengan mengembalikan semua perkara kepada mereka merupakan kunci hidup agar jauh fari kesesatan. Al-'Iyazd Billah Amma Yaquluuna Uluwwan Kabiro.
Tanggapan ulama hadist tentang dalil ini diantaranya:
a.Dalam kitab Muwatha' imam Malik, ia meriwayatkan perkataan Rasulullah Saw yang artinya: Aku tunggalkan bagimu dua perkara, yang dengan dua perkara ini kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya.
b.Dalam Sunan Nasai' kita dapatkan riwayat yang lain dari hadist ini. imam Suyuthi menjelaskan hadist ini dalam syarhnya bahwasannya rasul berwasiat dengan Kitabullah dan agamanya atau sejenis dengannya yang termasuk dalam sunah nabi.
c.Dalam kitab Faidul Qadir Syarh Al-Jami' Al-Shagir, kita bisa mendapatkan riwayat dari Abu Hurairah ra, berkata yang artinya: Nabi Muhammad Saw berkhutbah pada Haji Wada' seraya berkata: Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, Selagi kamu berpegang kuat kepada kedua-duanyayaitu Kitabullah dan sunahkuKedua pusaka itu tidak akan berpisah sehingga keduanya dapat mendatangkan haudh-telaga-kepadaku.
d.Hadit rasul tang artinya: Apakah aku lebih utama dari diri kalian, kata ini diulang sebanyak tiga kali, maka sahabatpun dengan senang hati membenarkan dan mengakuinya, kemudian nabi mengangkat tangan Ali ra seraya berkata: Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Mereka menafsirkan bahwa kalimat Maula adalah Aula.Maka Ali lah yang paling berhak untuk diikuti. Dan dengan nash ini juga mereka menganggap bahwa do'a dari nabi yang terdapat pada hadist diatas, hanya untuk imam yang ma'sum (red: terbebas dari dosa) yang harus ditaati.
Namun hadist ini mendapat tanggapan dari ulama hadist diantaranya imam Ibnu hajar. Diantara tanggapannya adalah:
a.Kita tidak dapat menerima bahwa arti dari wali adalah aula, akan tetapi artinya adalah Al-Nashir (red: penolong) karena artinya merupakan kata umum yang mempunyai banyak arti diantaranya, yang membebaskan, yang dibebaskan, yang menolong. Dari kata yang umum inilah tidak bisa dipastikan satu arti yang tepat tanpa adanya dalil yang mengkhususkannya.
b.Walaupun kita membenarkan kata kata Wali diatas berarti Awla, tetapi bukan berarti awla dalam imamah melainkan dalam hal suri tauladan, atau yang paling dekat dengan nabi. seperti dalam firman Allah Swt yangartinya: Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikuti nabi ini (Muhammad). (Qs: Ali-Imran ayat:68)
c.Adapun kekhususan tentang doa' nabi dalam hadist diatas yang artinya: Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”hanya bagi imam yang ma'sum merupakan perkataan yang jauh sekali dari kebenaran, karena doa itu sendiri boleh diperuntukan kepada siapa saja yang rasul kehendaki,tanpa adanya tidak ada takhsis (red:pengkhususan) bagi imam yang ma'sum.
Akan tetapi yang harus diketahui, selain riwayat-riwayat yang saya sebutkan di atas, kita juga mendapatkan riwayat yang menganjurkan kita untuk berpegang teguh pada Kitab dan Itrah (red: Keluarga) diantaranya: hadist yang diriwayatkan oleh dua imam besar yaitu imam muslim dan Ahmad dari Zaid bin Arqam r.a. Pada riwayat ini terdapat anjuran untuk berpegang teguh pada Kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau saw bersabda, "Dan Ahli Baitku (keluargaku)" Pada riwayat ini kita seluruh kaum mislimin diianjurkan untuk memelihara hak-hak Ahlu Bait nabi, mencintainya, dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Abu bakr r.a. berkata demi jiwaku yang berada di tangan-Nya mendekatkan diri kepada rasul itu lebih saya cintai dari kerabat saya.
Tanpa bermaksud skeptis terhadap mazhab ini, akan tetapi sikap skeptic lahir karena kebanyakan dari ulama hadist tidak mendukung klaim syiah ja'fariyah ini, dan merekapun tidak memiliki dalil yang kuat dalam masalah ini, karena walaupun hadist tentang Itrah ini benar adanya dan diriwayatkan oleh banyak Imam dalam hadist akan tapi bukan berarti bahwa riwayat ini mewajibkan imamah dari ahli bait.
Setelah mengetahui sikap ulama-ulama baik dari Ja'fariyah maupun Jumhurtentang perisiwa Ghadir Khum ini, mungkin kita sedikit dapat mengambil perbandingan tentang esensi hadits tersebut, untuk senantiasa dapat mendiskusikannya secara ilmiyah dan objektif, bukan semerta-merta selalu memandang mereka dengan Ainu Sukht (red:kacamata hitam) sehingga menganggap mereka bukan bagian dari kita (red: Sunni) musuh kita yang boleh diperangi. Ulama kita pada zaman ini sedang berusaha kerasdalam melakukan taqrib (red: pendekatan) antara madzahibIslam didunia ini, agar persatuan umat muslim itu bukan suatu khurafat yang tidak bisa di capai.
Rabu, 09 Desember 2009
Mantan Mufti Mesir: Konsep Khilafah Tidak Realistis (Mantan Mufti Mesir)
Konsep Khilafah Tidak Realistis
Sumber: Era Muslim
Pernyataan mantan mufti Mesir satu ini tentu akan menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah para penggiat dan pejuang syariah yang mendambakan tegaknya kekhilafahan Islam kembali, karena dalam hadits yang cukup panjang - jelas Rasulullah menyebutkan akan kembali hadir Khilafah Minhajul Nubuwwah, namun mantan mufti Mesir ini berpikir sebaliknya.
Dalam paparannya pada Stadium General bagi peserta Program Peningkatan Kompetensi Dosen (Short Course) UIN Se-Indonesia (08/12) di Balai Budaya KBRI Cairo Prof. Dr. Nasr Farid Muhammad Wasil menegaskan bahwa konsep Khilafah yang didengung-dengungkan sebagian kalangan umat Islam di beberapa negara tidak realistis. “Konsep Khilafah ‘wahm’ lahir dari pemahaman agama yang tidak dalam dan tidak memahami realitas’, tuturnya.
"Khalifah dalam kandungan Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai pelaku-pelaku yang memakmurkan dunia demi mencapai tujuan ketaatan kepada Allah bukan membentuk satu konstitusi kekhilafaan Islam tertentu”, tambahnya.
Dalam penyampaiannya, Nasr Farid Wasil juga menjelaskan beberapa fenomena kemunduran umat Islam diantaranya masyarakat buta pengetahuan agama, lemah di bidang ekonomi dan moneter, mengalami kelemahan dalam membangun komunikasi intens dan positif dengan Barat, kurang mampu menyampaikan Islam Moderat, masih banyaknya konflik, terbawa arus politik praktis, terjebak dalam perang pemikiran serta pers dan media Islam masih kurang menyuarakan nuansa Islam yang damai.
Nasr Farid Wasil menerangkan juga bahwa dari beberapa fenomena kemunduran tersebut terdapat pula beberapa faktor yang dapat menjadikan umat Islam lebih kuat di masa kini dan yang akan datang diantara kekuatan umat dapat dibangun dengan adanya persatuan umat, berpegang teguhnya umat terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, memperkuat basis material dan spiritual, yakin terhadap Qadha dan Qadar (takdir baik dan buruk), menyatukan persepsi agama dan tujuan perjuangan serta menekankan terhadap pentingnya Jihad di dunia dan akhirat. Farid Wasil menambahkan bahwa Ibadah dalam Islam adalah keterpaduan antara Aqidah (keyakinan), Syariah (Hukum) dan kehidupan.
Menanggapi peristiwa referendum rakyat Swiss terhadap pelarangan pembangunan menara Masjid di wilayah Swiss menurut pandangan Nasr Farid Wasil, sikap tersebut sebuah bentuk diskriminatif terhadap agama yang nantinya diprediksi warga Swiss akan mengarahkan referendum berikutnya pada pelarangan pembangunan masjid-masjid di wilayah Swiss.
Para peserta Program Peningkatan Kompetensi Dosen (Short Course) UIN Se-Indonesia ini selain mengikuti Stadium General yang disampaikan oleh Guru Besar Universitas Al-Azhar juga ditugaskan untuk melengkapi penyusunan disertasi doktoral serta menggali lebih dalam terhadap kekayaan kearifan lokal Mesir hingga 16 Desember 2009 yang difasilitasi oleh Atase Pendidikan KBRI Cairo.(sym)
Sabtu, 28 November 2009
Risalah Ulumul Qur'an (Part I)
Oleh: Muhammad Bachtiar El-Marzoeq
PENDAHULUAN
Sebagai petunjuk manusia yang paripurna, Al-Quran memegang peranan yang sangan penting untuk mengatur kehidupan manusia di dunia maupun akhirat.Sebagai Kitab penutup dari kitab-kitab Ilahi, serta pelengkap dari syari’at-syari’at yang terdahulu Al-Qur’an merupakan mukjizat yang kekal dan abadi, yang mana jika manusia dan jin pun berkumpul guna menandinginya mereka tidak akan mampu untuk mendatanginya. Maka dari itu suatu kerugian yang sangat besar jika umat yang turun kepadanya Kitab yang suci ini enggan untuk senantiasa berinteraksi dengannya.Karena Allah telah menurunkan Al-Qur’an ini untuk diimani, dipelajari, dibaca, di-tadabburi, diamalkan, dijadikan sandaran hukum, dijadikan rujukan dan untuk dijadikan obat dari berbagai penyakit dan kotoran hati serta untuk hikmah-hikmah lain yang Allah kehendaki dari penurunannya.Dalam memahami mukjizat ini, manusia dituntut untuk senantiasa belajar dan berinteraksi dengannya secara berkesinambungan.Untuk mewujudkan hal itu, marikita kaji bersama bab demi bab pada tulisan yang sederhana ini.
PEMBAHASAN
BAB I
AL-QUR’AN
1.Pengertian Al-Qur’an
Marilah kita awali pembahasan pada bab ini dengan terlebih dahulu mengetahui arti Al-Qur’an itu sendiri. Secara etimologis Al-Qur’an berasal dari kata qoroa’ yang artinya ialah menghimpun atau mengumpulkan, dan qiro`ah berarti menghimpun huruf dan kalimat satu dengan yang lainnya.Adapun lafadz Al-Qur’an itu sendiri pada asalnya sama dengan qiro’ah yaitu bentuk infinitif dari qoroa’- qiro’atan wa qur’anan. Allah SWT berfirman yang artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. (QS: Al Qiyamah ayat 17-18) Ada beberapa pendapat ulama tentang lafadz Qur’an itu sendiri, diantaranya:
a.Grand Syaikh Al-Azhar Dr. Muhammad Sayid Thantawi berpendapat bahwa lafadz Al-Qur’an ditinjau dari segi bahasa ialah bentuk infinitif dari kata kerja qoroa’ yang berarti tala’yaitu membaca, kemudian dipindahkan dari arti infitif ini dan dijadikan nama dari perkataan Allah Swt.
b.Sebagian ulama bependapat bahwa sebab penamaan Al-Qur’an ini karena Qur’an itu sendiri merupakan kitab yang komprehensif mencakup berbagai banyak macam ilmu, hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala. (QS: An-Nahl ayat: 89)
c.Golongan ini berpendapat bahwa lafadz Al Qur’an itu sendiri bukanlah merupakan kata jadian dari Qoroa’, dinamakan Al-Qur’an mungkin karena asalnya dari kata Qoro’inyang artinya saling berhubungan, karena ayatnya mempunyai kesamaan antara satu dengan yang lainnya, dan huruf Nun pada lafadz Qur’an itu merupakan huruf asli bukan huruf bentukan.
Adapun secara terminologis Ulama memberikan defenisi Al-Qur’ansebagai perkataan Allah Swt yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, dan bagi yang membacanya dicatatat sebagai ibadah.
2.Nama Dan Sifat-Sifat Al-Qur’an
Mengenai nama-nama Al-Qur’an itu sendiri, Allah Swt lansung menyebutkannya dalam firman-firman-Nya pada banyak ayat diantaranya:
a.Al-Qur’an, nama ini terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya ayat Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.
b.Al-Kitab, nama ini disebut oleh Allah Swt pada surat Al-Anbiya ayat 10 yang artinya: Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu.
c.Al-Furqan,nama ini diabadikan oleh Allah Swt dalam firman-Nya yang artinya: Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS: Al-Furqaan ayat 1)
d.Al-Tanzil, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam (QS: Ass Syura, ayat 192)
e.Al-Zikru, Nama ini terdapat pada suratAl-Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunklan Al- Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.
Adapun dari sifat-sifat Al- Qur’an, Allah Swt menyipatinya dengan merbagai macam sifat diantaranya: Nur, Huda, Syifa, Mubarak, Mubin, Busyra, Aziz, Majid, Basyir, Nadjir.
3.Perbedaan Antara Al-Qur’an, Hadist Qudsi Dan Hadist Nabawi
Setelah kita mengetahui defenisi Al-Quran baik secara etimologis dan terninologisnya, agar kita dapat membedakan antara Al-Qur’an, hadist Qudsi dan hadist Nabawi, mari kita ketahui bersama defenisi dari keduanya.
a.Hadist Nabawi
secara etimologis Hadist adalah lawan kata dari Qadim yang artinya lama, dari sini kita dapat artikan bahwa hadist itu sendiri artinya baru. Menurut terminologis hadist ialah: Apa-apa yang disandarkan kepada nabi Saw baik dari perkataan, perbuatan ataupun keputusan dan sifat.
b.Hadist Qudsi
Asal kata Qudsi itu sendiri adalah Al-Quds yang menunjukkan pada keagungan atau kesuciaan.Dan Taqdis artinya adalah mensucikan, seperti firman Allah Swt yang artinya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. (QS: Al Baqarah ayat 30). Adapun hadist Qudsi secara terminologis adalah: segala sesuatu yang disandarkan Nabi kepada Allah, dengan kata lain bahwa Nabi Muhammad Saw meriwayatkan pekataan Allah Swt dengan lafadznya sendiri, dan apabila ada yang meriwayatkan hadist ini dari Rasulullah Saw maka harus disandarkan kepada Allah Swt, dengan seraya berkata: Rasulullah Saw bersabda dari hadist yang ia riwatkan dari Allah Swt.
4.Perbedaan Antara Al-Qur’an Dan Hadist Qudsi
a.Al-Qur’an adalah perkataan Allah Swt yang diwahyukan kepada Rasul-Nya dengan lafadz dan makna dari sisi Allah Swt , yang menantang kaum Arab pada waktu untuk mendatangkan tandingan seperti Al-Qur’an satu surat saja darinya. Adapun hadist Qudsi tidak terdapat di dalamnya unsur tantangan dan I’jaz.
b.Al-Qur’an semuanya diriwatkan secara Tawatur, artinya diriwiyatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bagi mereka berkolusi untuk berdusta, dengan ini Al-Qur’an dipastikan keapsahan sanadnya kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an juga bersifat Qoth’iyyu Al-Subut artinya bahwa ayat-ayat yang terdapat pada Al-Qur’an diriwatkan dari Nabi Muhammad Saw dengan tawatur, dan Tabi’in pun meriwatkannya dari Sahabat dengan tawatur begitu pula dengan tabi’u al tabi’in meriwatkan dari tabi’in dengan tawatur. Sifat ini semua kita tidak dapatkan pada hadist Qudsi yang mayoritas adalah Khabar Ahad dengan arti bahwa hadist yang diriwayatkan oleh satu orang. Menurut syeikh Musthafa Adawi, yang disebut dengan Khabar Ahad adalah selain bukan Mutawatir
Dan sifat hadist ini Dzonniyu Al tsubut, artinya hadist ini tidak diriwayatkan secara mutawatir .
c.Bagi yang membaca Al-Qur’an dicatat baginya amal ibadah, seperti telah diwajibkan dalam membacanya pada waktu salat. Adapun dari hadist nabi yang menguatkan hal ini, hadist yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi dari Ibnu Mas’ud Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Barang siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah Swt maka baginya satu kebaikan, dan pada setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan, aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, Lam satu huruf, Mim satu huruf. Sedangkan hadist Qudsitidak dapat dibaca pada waktu salat. Adapun ganjaran bagi yang membaca hadist Qudsi maka Allah akan mengganjarnya denga pahala yang bersifat umum, bukan pahala yang termasuk pada hadist yang mengandung keutamaan bagi orang yang membaca Al-Qur’an.
BAB II
AL-WAHYU
1.Pengertian Al-Wahyu
Pada asli katanya, kata wahyu berasal dari dua makna asli yaitu:tersembunyi dan cepat, maka dari itu bisa dikatakan bahwa arti dari wahyu itu adalah pemberitahuan secara cepat dan tersembunyi, khusus bagi orang yang mendapatkannya, tanpa ada seorangpun yang tahu akan hal tersebut selain dia.
a.secara etimologis wahyu mengandung beberapa arti diantaranya:
1.Insting, seperti wahyu kepada ibu Nabi Musa, Allah Swt befirman yang artinya: Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa: susuilah dia. (Qs: Al-Qasas ayat 7(
2.Insting bagi hewan, seperti wahyu untuk lebah, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: “ Buatlah sarang-sarang di bukir-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. (QS: An Nahl Ayat 68)
3.Isyarat yang begitu cepat dengan menggunakan tanda-tanda dan inspiratif, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur’an tentang nabi Zakariya yang artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka: hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.(QS: Maryam Ayat: 11)
4.Bisikan setan yang senantiasa mendorong manusia untuk selalu berbuat kejahatan, tentang ini Allah Swt berfirman yang artinya: Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. (QS; Al Am’am Ayat 121)
5.Apa-apa yang diperintahkan Allah Swt kepada Malaikatnya untuk melaksanakan segala perintah-Nya, Allah Swt berfirman yang artinya: (Ingatlah) ketika tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “ Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman. (QS: Al Anfal Ayat 12)
b.Adapun Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya, ulama mendefinisikannya dengan: Perkataan Allah Swt yang diturunkan atas para Nabi-Nya, definisi ini ketika wahyu itu sendiri bersifat objek yang artinya diwahyukan, akan tetapi apabila jika ia berbentuk infinitife secara terminologis ulama mendefinisikannya dengan: pemberitahuan Allah Swt kepada hambanya yang ia pilih dan apa-apa yang ia kehendaki dari petunjuk dengan cara tersembunyi dan cepat.
2.Motode Turunnya Wahyu Allah Kepada Malaikat
Malaikat dengan kedudukan dan fungsinya sebagai penyampai wahyu, mempunyai peran penting dalam penyempurnaan syari’at kita, ketaatannya kepada perintah-perintah Allah Swt adalah bukti dari kesuciannya.Kita bisa dapatkan dalil-dalil yang menjelaskan bagaimana metode penurunan wahyu dari Allah kepada Malaikat diantaranya:
a.Dari Al Qur’an, Pada Surat Al Baqarah ayat 30 yang arti firman-Nya adalah: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “ Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” Mengapa Engkau menjadikan (Khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.Jika boleh berkonklusi, dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa Allah Swt benar-benar berbicara kepada Malaikat tanpa adanya perantara dengan perkataan yang bisa difahaminya. Dan masih banyak lagi nash-nash yang menerangkan kepada kita tentang proses penurunan wahyu dari Allah kepada Malaikat.
b.Hadist yang dikeluarkan oleh Hakim dan Ibnu Abi Syaibah yang artinya: Al-Qur’an itu dipisahkan dari Az-Zikr, kemudian diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia, maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Ulama silang pendapat tentang metode turunya wahyu dari Allah Saw kepada malaikat diantaranya:
a. Malaikat Jibril menerimanya dan mendengar langsung dari Allah swt dengan lafadz
Allah yang khusus
b. Malaikat Jibril menghafalnya dari Lauhul Mahfudz
c. Malaikat Jibril hanya menyampaikan makna dan lafadz darinya atau dari Muhammad Saw
Akan tetapi dari golongan Ahlu Al Sunnah Wal Jama’ah lebih condong kepada pendapat pertama, dengan bertedensi pada dalil-dalil yang kita telah sebutkan di atas.
3.Motode Turunnya Wahyu Allah Kepada Rasul
Metode turunnyawahyu Allah kepada Rasul-rasulnya, bisa kita klasifikasikan menjadi dua macam:
a.Dengan perantara Maiaikat Jibril
Seperti hadist dari ‘Aisyah yang artinya"Wahyu pertama yang diterima Rasulullah adalah mimpi yang benar.Setiap kali beliau bermimpi, mimpi itu datang bagaikan terangnya Subuh. Kemudian beliau sering menyendiri. Proses pewahyuan dengan caraini pertama ini tidak lain hanyalah sebagai persiapan sebelum Rasul diberikan wahyu secara langsung dalam keadaan terbangun dan sadar.
b.Perkataan Allah Swt dari belakang tabir tanpa perantara pada keadaan terbangun, proses pemberiaan wahyu ini terjadi pada nabi Musa, Allah Swt berfirman tentang ini yang artinya: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah befirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ” Ya Tuhanku, nampakanlah (diri Engkau) kepadaku. (QS: Al A’raf ayat 143). Wahyu seperti ini pun terjadi pada nabi Muhammad Saw ketika malam Isra’ Mi’raj secara langsung dan bukan dari belakang tirai.
4.Motode Turunnya Wahyu Dari Malaikat Kepada Rasul
Pada metode ini kita dapat membaginya dalam dua bagian diantaranya:
a.Metode ini merupakan metode yang sangat keras bagi Rasul, karena Malaikat mendatanginya seperti gemerincing lonceng, dan suara keras yang mengharuskan nabi mengumpulkan segenap kekuatannya untuk menerima wahyu ini, memahami dan menghapalnya, terkadang suara ini seperti desisan sayap malaikat.
b.Metode kedua ini lebih ringan, karena pada metode ini malaikat Jibril datang dalam bentuk manusia berupa seorang laki-laki, dancara inilah yang paling disenangi oleh Rasul karena berbentuk perbincangan antara pembicara dan pendengar.
Dua metode ini bisa kita dapatkan dalam sebuah hadist yang yang diriwatkan dari ‘Aisyah Ra, ia berkata yang artinya: Terkadang Malaikat itu datang kepadaku seperti gemerincing bunyi lonceng, hal ini memayahkanku, lalu bunyi itu terputus, dan aku mengerti tentang apa yang dikatakannya itu. Dan terkadang Malaikat itu datang kepadaku seperti seorang laki-laki, dia berbicara kepadaku dan akupunmengerti apa yang dikatakannya.
BAB III
AL-MAKKI DAN AL-MADANI
1.Perhatian Ulama Tentang Al-makki Dan Al-madani
Tentang cabang ilmu ini, Ulama mempunyai perhatian khusus terhadapnya. Ayat demi ayat dan surat demi surat mereka tela’ahsecara seksama agar bisa mengetahui waktu, tempat dan khitob pada masa diturunkannya.
Abul Qasim Al Hasan Bin Muhammad Bin Habib Al Naysaburi dalam bukunya Al-Tanbih ‘Ala Fadli Al-Qur’anmengatakan: Dari cabang ilmu Al-Qur’an yang mempunyai kedudukan dalam cabangnya ialah ilmu tentang turunnya Surat ayat tertentu dan mengetahui urutan-urutan ayat tersebut. Yaitu apa-apa yang turun di Makkah dan Madinah, dan apa yang turun di Makkah dan hukumnya di Madinah, dan apa yang turun di Madinah dan hukumnya di Makah. Yang turun di Makkah pada penduduk Madinah, dan yang turun di Madinah pada penduduk Makah.Yang menyerupai penurunan Makki di Madani, dan yang menyerupai penurunan Madani di Makki.Apa yang turun di Juhfah, dan yang turun di Baitul Maqdis. Apa yang turun di thaif, dan yang turu di Hudaibiyah. Yang turun malam hari, dan yang tutun siang hari.Apayang turun untuk kelompok, dan apa yang turun untuk individu. Ayat-ayat Madaniyah pada surat Makiyah, dan ayat-ayat Makiyah pada surat Madaniyah. Apayang dibawa dari Makkah ke Madinah, dan dari Madinah ke Makkah. Yang dibawa dari Madinah ke bumi Habasyah.Yang turun secara global dan yang turun secara terperinci.Yang masih terdapat perbedaan, sebagian mereka mengatakan bahwa itu Makki dan sebagianlain mengatakan Madani. Dua puluh lima kategori ini harus diketahui bagi orang yang akan berbicara tentang kitab Allah Swt, barang siapa yang belum bisa membedakan dan mengetahuinya tidak halal baginya untuk berbicara dalam kitab Allah Swt.
2.Surat Makki Dan Madani
Kita dapat mengklasifikasikan suratMakki dan Madani sebagai berikut:
a.Surat-surat Madani berjumlah 20 diantaranya:
Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al Maa’idah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, Muhammad, Al fath, Al Hujurat, Al Hadid, Al Mujaadilah, Al Hasyr, Al Mumtahanah, Al Jumu’ah, Al Munaafiqun, ATh Thalaq, At Tahrim, An Nasr
b.Surat-surat yang masih diperselisihkan berjumlah 12 diantaranya:
Al Fatihah, Ar Ra’d, Ar Rahman, Ash Shaf, At Taghaabun, Ath Tatfif, Al Qadr, Al bayinah, Al Zalzalah, Al ikhlas, Al falaq, dan An nas.
Selain surat ini semuanya Makki yaitu berjumlah 82 surat, maka jumlah surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an ialah 114 surat
3.Manfaat Ilmu Makki Dan Madani
Adapun Manfaat dari mempelajari salah satu cabang ilmu Al-Qur’an ini antara lain:
a. Membantu kita untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an, karena dengan mengetahui kejadian-kejadian ketika waktu turunnya wahyu, bisa membantu kita untuk memahami ayat dan menafsirkannya dengan benar. Dan dengan ilmu ini pun seorang mufassir bisa membedakan antara yang nasikh (yang menghapus) dan mansukh(yang dihapus).
b.Merasakan indahnya Uslub Al-Qur’an dan memakainya sebagai metode dakwah kepada Allah Swt, karena masing-masing perkataan ada tempatnya, dan memperhatikan situasi-situasi tertentu dalam berdakwah merupakan suatu keharusan bagi seorang da’i agar dakwahnya sampai dan dapat diterima oleh orang yang mau diajaknya. Ini semua bisa kita dapatkan dalam metode cabang ilmu makki dan madani, karena setiap keduanya mempunyai cara penyampain dan metode masing-masing.
c.Memahami perangai dan tingkah laku nabi yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur’an dan selanjutnya meneladaninya. Karena wahyu yang turun kepada Rasulullah Saw dengan berbagai kejadian yang ia alami baik pada masa Makki maupun Madani merupakan sebuah sejarah dakwah yang dapat kita tauladani.
4.Konsepsi Al-maki dan Al-madani
Ada dua metode yang dipakai ulama untuk mengetahui Al-makki dan Al-madani yaitu:
a.Metode Riwayah
Pada metode ini, semua bergantung pada riwayat yang benar dari sahabat yang sezaman dengan turunnya wahyu dan menyaksikan turunnya, atau dari Tabi’inyang meriwayatkan dari Sahabatdan mendengarnya dari mereka .Dalam bukunya Al Intishar Qodi Abu Bakar Muhammad Bin Thayib Al Baqilani mengatakan: Dalam mengetahui Maki dan Madani semua disandarkan dari hafalan para sahabat dan tabi’in, dan Rasulullah Saw pun belum pernah memgatakan hal ini dengan spesifik, karena Rasulullah pun belum pernah diperintahkan akan hal itu, Allah pun tidak mewajibkan pada umatnya untuk mengetahuinya, hanya bagi sebagian para ahli ilmu saja untuk mengetahui sejarah dari nasikh dan mansukh, itu pun tanpa nash yang bersumber dari Rasulullah Saw tentang kewajiban hal ini.
b.Metode Qiyasi
Dengan arti bahwa, pada metode ini cara mengetahui Makki dan Madaniadalah dengan bersandar pada kekhususan dari Al-makji dan Al-madani itu sendiri. Yaitu apabila terdapat pada surat Makiyah sifat umum dari surat Madaniyah maka ulama menghukuminya sebagai Madaniyah begitu pula sebaliknya apabila ada pada surat Madaniyah sifat umum dari surat Makiyah maka ulama menghukuminya sebagai Makiyah. Contoh: Setiap surat yang terdapat di dalamnya cerita tentang para Nabi dan Umat-umat terdahulu maka ia adalah makkiyah, dan setiap surat yang di dalamnya terdapat kewajiban-kewajiban maka ia adalah Madaniyah.
5.Perbedaan Antara Al-maki dan Al-madani
Sedikitnya ada tiga pendapat ulama dalam membedakan Al-Makki dan Al-madani ini diantaranya adalah:
a.Perhitungan waktu turun.
1. Al-maki adalah apa-apa yang turun sebelum Hijrah walaupun bukan di Makah,
Almadani adalah apa-apa yang apa-apa yang turun setelah hijrah walaupun bukan di 2. Madinah, seperti ayatyang turun pada waktu Fathu Makah, Allah Swt berfirman yang
artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya. (QS: An Nisa Ayat 58) Ayat ini turun di Makah tepatnya di dalam
Ka’bah tahun pembukaan Makah.
b.Perhitungan tempat turun.
1.Madaniyah adalah apa-apa yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti uhud, Quba
dan Sal’a
2.Makiyahadalah Apa-apa yang turun di Makah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan
hudaibiyah.
c.Perhitungan lawan bicara.
1. Al-maki ditujukkan kepada penduduk Makah
2. Al-madaniditujukkan kepada penduduk Madinah.
6.Keistimewaan Al-maki dan Al-madani
a.Kriteria-kriteria Al-maki
1. Setiap surat yang terdapat di dalamnya ayat sajadah maka ia Makiyah
2. Setiap surat yang terdapat di dalamnya Lafadz Kalla’maka iaMakiyah, lafadz ini
disebutkan sebanyak 33 kali dalam Al-Qur’an.
3. Setiap surat yang terdapat di dalamnya lafadz “Yaa Ayyuhannaas” dan tidak
terdapat di dalamnya “Yaa Ayyuhalladjina Aamanu” maka ia adalah surat Makkiyah
kesuali surat Al Haj yang terdapat pada akhir ayat yang arti ayatnya adalah:
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu.(QS: Al Haj ayat 77(
4. Setiap surat yang terdapat di dalamnya cerita tentang para Nabi dan umat-umat
terdahulumaka ia adalah Makkiyah
5. Setiap surat yang terdapat di dalamnya Adam dan Iblis maka ia adalah Makkiyah
selain surat Al-Baqarah
6. Setiap surat yang didahului huruf Tahajji’ seperti Alif Laam Miim dan
sejenisnya maka ia adalah Makiyah kecuali surat Al-Baqarah dan Ali-Imran
b.Keistimewaan Al-Maki
1. Menyeru kepada Allah Swt dan beribadah hanya kepada-Nya, membuktikan kerasulan,
menetapkan hari kebangkitan da pembalasan, menyebutkan hari kiamat dan
keadaannya, neraka dan azabnya, syurga dan kenikmatannya, serta mendebat
orang-orang musyrikin melalui bukti-bukti rasional dengan penciptaan jagad
raya yang kita huni kini.
2. Meletakan dasar umum dalam pembuatan undang-undang Islam serta penanaman akhlak
mulia dalam hidup bermasyarakat. Menghilangkan kriminalinalitas yang
biasadilakukan oleh kaum Musyrikin, yaitu dengan sengaja menumpahkan darah,
memakan harta anak yatim dengan semena-semena, juga mengubur hidup-hidup anak
perempuan yang tak berdosa.
3. Mengisahkan kepada kita perjalanan hidup para Nabi dan umat terdahulu agar
senantiasa menjadi bahan renungan bagi umat manusia. Cerita ini juga merupakan
sebuah pelipur lara atas kesedihan yang selalu dialami nabi Muhammad Saw dalam
menghadapi umatnya yang selalu menampakan perlawanan atas dakwah-dakwahnya.
4. Pendeknya potongan-potongan ayat, dengan ungkapan yang abstakdanDiperkuat
dengan banyaknya sumpah-sumpah Allah Swt .
c. Kriteria-kriteria Al-Madani
1. Setiap surat yang terdapat di dalamnya kewajiban maka ia adalah Madaniyah.
2. Setiap surat yang terdapat di dalamnya penyebutan Munafiqin maka ia Madaniyah,
kecuali surat Al –‘Ankabut.
3. Setiap surat yang terdapat di dalamnya perdebatan dengan Ahlul Kitab maka ia
adalah Madaniyah.
d.Keistimewaan Al-Madani
1. Manifestasi ibadah, pergaulan, batas-batas syariát, peraturan dalam
berkeluarga,warisan, keutamaan jihad, hubungan social masyarakat, hubungan
internasional baik dalam keadaan aman maupun perang, fondasi hukum, dan
problema perundang-undangan.
2. Adanya dialog dengan ahlu Kitab dari Yahudi dan Nasrani serta menyeru mereka
kepada Islam, menjelaskan penyelewengan mereka atas kitab-kitab Allah,
penentangan terhadap kebenaran dan perselisihan yang terus menerus.
3. Menyingkap kelakuan orang-orang munafiq serta menganalisa kepribadian mereka
dan sekaligius menyingkirkan tirai yang menutupi penghianatan mereka terhadap
islam.
4. Panjangnya potongan-potongan ayat, dengan gaya bahasa yang tegas dalam
menentukan suatu hukum dalamsyari’at Islam dan memperjelas tujuan-tujuannya.
BAB III
AYAT YANG PERTAMA DAN YANG TERAKHIR TURUN
1.Kegunaan Ilmu Ini
a.Mengetahui nasikh dan mansukh, yaitu apabila ada dua ayat pada satu pembahasan, maka salah satu dari ayati itu akan mengubah hukum pada ayat yang lain. Pada keadaan seperti ini maka ayat yang paling akhir turun telah menghapus ayat yang terdahulu.
b.Dengan cabang ilmu ini kita dapat memahami sejarah yaitu dalam pembentukan perundang-undangan Islam serta mengetahui proses penerapan suatu hukum dengan berangsur-angsur.
c.Mengetahui betapa besar kontribusi para sahabat nabi dalam mengabdikan segenap raga mereka untuk Al Qur’an, sampai mereka tahu waktu, tempat dan sebab-sebab turunnya ayat.
2.Ayat Yang Pertama Turun
Para ulama bersilang pendapat akan hal ini, diantaranya adalah:
a.Mayoritas dari golongan ulama sepakat bahwa yang pertama turun adalah surat Al ‘Alaq ayat 1-5 yang artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (Manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Pendapat ini dikuatkan dengan hadist yang berkenaan dengan wahyu yang pertama turun, yaitu hadist dari Bukhari dan Muslim dan selain dari keduanya dari ‘aisyah seperti hadist yang telah kita singgung diatas.
b.Pendapat ini mengatakan bahwa ayat yang paling pertama turun ialah firman Allah Swt yang artinya: Hai orang-orang yang berkemul (berselimut). Pendapat ini bertedensi pada hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Salamah Bin Abdirrahman berkata: Saya telah bertanya kepada Jabir Bin Abdullah, Qur’an apa yang pertama turun, maka ia berkata: “Yaa Ayyuhal Nuddastir” aku berkata atau “Iqra’ Bismi Robbik” ia pun berkata: Aku tidak akan menyampaikan kepadamu kecuali apa yang telah disampaikan kepada kami oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda: Aku telah tinggal mengasingkan diri di gua Hira’, maka ketika aku telah menyelesaikan pengasinganku, aku turun (dari gua itu), tiba-tiba aku dipanggil. Aku lalu melihat ke sebelah kananku, namun tidak melihat apa-apa, dan aku pun melihat ke sebelah kiriku, namun juga tidak melihat apa-apa. Aku kemudian menoleh ke belakangku, namun juga tidak melihat apa-apa, lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba saya melihat Jibril, seketika itu aku menggigil. Aku datangi Khadijah, dan aku katakan kepadanya: Selimutilah aku, Mereka pun menyelimutiku, lalu turunlah: (Yaa Ayyuhal Muddastirْ) Yang artinya: Wahai orang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah peringatan (dari Tuhanmu).
c.Dalam Al Kassyaf dikatakan bahwa yang pertama turun adalah suratAl-Fatihah, yaitu dari ayat pertama Al-Fatihah hingga akhir.
d. Ibnu An Naqib mengatakan bahwa yang pertama turun adalah ”Bismillahirrahmanirrahim” dan Basmalah ini turun disetiap awal surat. Menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Ithqan bahwa ini tidak termasuk pada ayat yang pertama turun karena setiap turun sebuah surat pasti akan disertakan Basmalah.
3.Ayat Yang Terakhir Turun
Untuk tidak memperpanjang pembahasan ini penulis hanya menampilkan sedikit dari pendapat para ulama tentangayat yang terakhir turun, diantaranya:
a. Ayat yang paling terakhir turun adalah ayat Al Riba, yaitu ayat yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba. (QS: Al Baqarah Ayat 278) pendapat ini bertedensi pada hadist yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas ia berkata: Ayat yang terakhir turun adalah ayat tentang Riba.
b.Ayat yang paling terakhir turun adalah ayat yang artinya: Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang waktu itu kamu semua dikembalikan pada Allah. (QS: Al Baqarah Ayat 281)
c.Ayat yang paling terakhir turun adalah ayat Kalalah . Diriwatkann dari Barra’ Bin A’zib berkata: Ayat yang paling terakhir turun adalah ayat yang artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) katakanlah :“Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah. (QS: An Nisa Ayat 176)
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat dari ulama tentang masalah ini yang semuanya tidak langsung diriwatkan dari Rasulullah, mereka berpendapat atas Ijtihad dak dalil dzonni.
d.Adapun firman Allah Swt yang atinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS: Al Ma’idah Ayat 3) Ayat ini turun di Arafah pada Haji Wada’ . Oleh sebab itu Grand syeikh Azhar, Dr. Muhammad Sayyid Thantawi dalam bunya Mabahist Fi ‘Ilmil Qur’an berpendapat bahwa yang ayat yang palig akhir turun adalah ayat yang artinya: Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang waktu itu kamu semua dikembalikan pada Allah. (QS: Al Baqarah Ayat 281)
4.Ayat Yang paling pertama turun dari setiap Topik Pembahasan
a.Yang paling pertama turun adalah ayat tentang makanan: Ayat ini adalah ayat yang paling pertama kali turun di Makkah terdapat pada surat Al An’am ayat 145, pada ayat An Nahl ayat 114-115, pada surat Al Baqarah ayat 173 dan pada surat Al Ma’idah:3
b.Yang paling pertama turun tentang Minuman: Ayat yang paling pertama turun tentang Khamr adalah pada surat Al Baqarah ayat 219, kemudian pada surat An Nisa’ ayat 43 dan yang terakhir adalah pada surat Al Maidah ayat 90-91.
c.Yang paling pertama turun tentang perang adalah ayat yang terdapat pada surat Al Haj ayat 39, ini dikuatkan oleh perkataan Ibnu ‘Abbas yaitu: Ayat yang pertama turun adalah ayat yang artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (HR: Al Hakim Fil Mustadrak)
PENUTUP
Semoga dengan kajian kita kali ini, bisa menggugah kembali interaksi kita terhadap Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang mendukung dalam memahami Al-Qur’an, akhirnya, dengan makalah yang sangat sederhana ini tentu masih banyak sekali kekurangan, untuk itu penulis sangat butuh sekali kritik dan saran yang sifatnya membangun. Waallahu Min Waro’ Al Qosdi
DAFTAR PUSTAKA
1)Manna’ Al Khattan, Mabahits Fi “ulumil Qur’an, Pust. Daarel Wahbah.
2)Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Al-Ithqan Fi ulumil Qur’an, Pust. Daarel Hadits
3)Dr. Muhammad Sayyid Thantawi, Mabahits Fi “ulumil Qur’an, , Pust. Daarel Syuruq
4)Diktat Kuliah Universitas Al-Azhar, Mabahits Fi “ulumil Qur’an, Daarel
Saa’dah
Kamis, 12 November 2009
Sarkozy Menolak Erdogan Karena Istrinya Berjilbab?
Sumber : Era Muslim.com
Presiden Prancis itu benar-benar bermasalah. Selasa (9/2) kemarin, pemimpin oposisi Turki mengungkapkan bahwa "Sarkozy mengatakan kepada Erdogan untuk tidak membawa istrinya dengan memakai jilbab dalam kunjungan resmi ke Prancis."
Kejadian ini memang sudah agak lama, yaitu tepatnya pada tahun 2007. Hal ini mencuat kembali sekarang, karena Erdogan akan melakukan kunjungan ke Paris pada bulan April mendatang dalama acara “Season of Turkey in France.”
Dalam kesempatan itu, Erdogan juga diharapkan untuk bertemu dengan Nicholas Sarkozy dan Perdana Menteri Dominique Villepin selama tinggal di Paris.
Deniz Baykal, ketua oposisi utama Partai Rakyat Republik (CHP) berkata, "Sarkozy mengatakan kepada Anda (Erdogan) untuk tidak membawa istri Anda karena gaunnya? Anda adalah Perdana Menteri. Anda akan menyelesaikan masalah ini.”
Seperti diketahui, bahwa Presiden Prancis Nicholas Sarkozy memang sudah antipati terhadap perempuan muslimah di negaranya.
Tapi sebenarnya, penolakan Sarkozy juga menjadi tamparan bagi Erdogan sendiri. Negara Turki yang dipimpinnya sendiri memberlakukan larangan jilbab di mayoritas universitas negeri Turki sebagai praktik keagamaan. Padahal 99% populasi Turki adalah Muslim.
Minggu, 08 November 2009
Dewan Umum PBB Setujui Resolusi Laporan Goldstone
Jumat, 06/11/2009 15:57 WIB
Sumber: www.eramuslim.com
Dewan Umum PBB menyatakan menerima laporan Richard Goldstone tentang kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel dalam agresinya ke Jalur Gaza bulan Januari lalu. 114 negara mendukung dikeluarkannya resolusi atas laporan tersebut, dalam voting yang dilakukan Dewan Umum PBB.
Hanya 18 negara diantaranya AS yang menyatakan keberatan dan 44 negara diantaranya Prancis, Inggris dan Rusia menyatakan abstain. Resolusi Dewan Umum PBB menyatakan bahwa kedua belah pihak yaitu Israel dan Palestian harus melakukan investigasi dalam tiga bulan ini dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memberi perhatian atas laporan Goldstone. Negara-negara yang mendukung resolusi menyatakan, tuduhan kejahatan perang adalah tuduhan yang serius dan patut mendapatkan perhatian dari dunia internasional.
Dukungan terbesar pada laporan Goldstone kebanyakan dari negara-negara Muslim dan negara-negara anggota Gerakan Non-Blok. Meski demikian, ada kekhawatiran negara-negara Arab akan memperlunak isi laporan Goldstone dalam upaya mendapatkan dukungan dari Uni Eropa.
Utusan Palestina di PBB, Riyad Mansour menyatakan puas dengan hasil voting dan mengatakan bahwa rekomendasi yang diajukan Goldstone dalam laporannya akan segera diimplementasikan. "Dalam tiga bulan, Dewan Umum PBB akan berkumpul lagi untuk mendengarkan laporan Sekjen PBB tentang apa langkah selanjutnya yang akan diambil. Pertemuan juga akan dihadiri oleh anggota Dewan Keamanan," kata Mansour.
Lain halnya dengan utusan Israel di PBB, Gabriela Shalev yang mengatakan bahwa voting dilakukan atas dasar kebencian. "Politik, bukan perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang menjadi satu-satunya alasan mengapa laporan ini dibahasa di New York (markas besar PBB)," tukasnya.
Dalam laporan setebal 575 halaman, Richard Goldstone yang memimpin tim pencari fakta PBB atas agresi Israel ke Jalur Gaza menyatakan bahwa Israel telah melanggar hukum kemanusiaan internasional dalam agresinya itu. Tim pencari fakta mencatat sedikitnya tujuh insiden penembakan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina yang berusaha menyelamatkan diri sambil mengibarkan bendera putih.
Israel juga menjadikan masjid-masjid sebagai target pengeboman pada saat waktu salat sehingga menewaskan 15 warga sipil Palestina. Israel membombardir sebuah rumah setelah sebelumnya para tentara Israel mengumpulkan warga Palestina berkumpul di dalam rumah tersebut. Untuk itu Israel dinyatakan telah melakukan kejahatan perang. Agresi Israel ke Jalur Gaza selama tiga minggu menyebabkan lebih dari 1.500 penduduk Gaza gugur syahid dan menyebabkan kerugian materil sebesar lebih dari 1,6 milyar dollar AS.
Sumber: www.eramuslim.com
Dewan Umum PBB menyatakan menerima laporan Richard Goldstone tentang kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel dalam agresinya ke Jalur Gaza bulan Januari lalu. 114 negara mendukung dikeluarkannya resolusi atas laporan tersebut, dalam voting yang dilakukan Dewan Umum PBB.
Hanya 18 negara diantaranya AS yang menyatakan keberatan dan 44 negara diantaranya Prancis, Inggris dan Rusia menyatakan abstain. Resolusi Dewan Umum PBB menyatakan bahwa kedua belah pihak yaitu Israel dan Palestian harus melakukan investigasi dalam tiga bulan ini dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memberi perhatian atas laporan Goldstone. Negara-negara yang mendukung resolusi menyatakan, tuduhan kejahatan perang adalah tuduhan yang serius dan patut mendapatkan perhatian dari dunia internasional.
Dukungan terbesar pada laporan Goldstone kebanyakan dari negara-negara Muslim dan negara-negara anggota Gerakan Non-Blok. Meski demikian, ada kekhawatiran negara-negara Arab akan memperlunak isi laporan Goldstone dalam upaya mendapatkan dukungan dari Uni Eropa.
Utusan Palestina di PBB, Riyad Mansour menyatakan puas dengan hasil voting dan mengatakan bahwa rekomendasi yang diajukan Goldstone dalam laporannya akan segera diimplementasikan. "Dalam tiga bulan, Dewan Umum PBB akan berkumpul lagi untuk mendengarkan laporan Sekjen PBB tentang apa langkah selanjutnya yang akan diambil. Pertemuan juga akan dihadiri oleh anggota Dewan Keamanan," kata Mansour.
Lain halnya dengan utusan Israel di PBB, Gabriela Shalev yang mengatakan bahwa voting dilakukan atas dasar kebencian. "Politik, bukan perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang menjadi satu-satunya alasan mengapa laporan ini dibahasa di New York (markas besar PBB)," tukasnya.
Dalam laporan setebal 575 halaman, Richard Goldstone yang memimpin tim pencari fakta PBB atas agresi Israel ke Jalur Gaza menyatakan bahwa Israel telah melanggar hukum kemanusiaan internasional dalam agresinya itu. Tim pencari fakta mencatat sedikitnya tujuh insiden penembakan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina yang berusaha menyelamatkan diri sambil mengibarkan bendera putih.
Israel juga menjadikan masjid-masjid sebagai target pengeboman pada saat waktu salat sehingga menewaskan 15 warga sipil Palestina. Israel membombardir sebuah rumah setelah sebelumnya para tentara Israel mengumpulkan warga Palestina berkumpul di dalam rumah tersebut. Untuk itu Israel dinyatakan telah melakukan kejahatan perang. Agresi Israel ke Jalur Gaza selama tiga minggu menyebabkan lebih dari 1.500 penduduk Gaza gugur syahid dan menyebabkan kerugian materil sebesar lebih dari 1,6 milyar dollar AS.
Pondok Modern Daarul Qoori`in
Sejarah Singkat
Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam penguasaan iptek sekaligus dibekali iman dan taqwa (imtaq) yang kuat, maka Drs. K.H. Abd Rochman Hilal mendirikan Pondok pesantren Modern Daarul-Qoori’in pada tahun 1993 di Kampung Cibeureum, Ds. Aweh, Kec. Kalanganyar Kab. Lebak, Banten. Pondok pesantren Modern Daarul-Qoori’in merupakan penerus dari Majelis Pengajian Al-Qur’an asuhan Alm. K.H. Romli Kapugeran, Rangkasbitung.
Visi dan Misi
1. Mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas, beriman dan bertaqwa. Menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu mengaktualisasikannya dalam
masyarakat.
2. Menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, mempunyai daya juang yang tinggi, kreatif, inovatif, proaktif, dan
mempunyai landasan iman dan taqwa yang kuat.
3. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan professional tenaga kependidikan sesuai
perkembangan dunia pendidikan
Program Pendidikan
Untuk mencapai tujuannya, maka program pendidikan yang diterapkan adalah:
1. Program intrakurikuler
program ini diberikan secara klasikal dengan menggunakan kurikulum terpadu antara pesantren dan nasional
2. Program ekstrakurikuler
Disiplin berbahasa inggris dan arab sehari-hari
Pengajian Al-Qur’an dan tahfidzul Qur’an
Belajar tutorial dengan bimbingan wali kelas
Pengajian kitab salafiyah
Latihan pidato 3 bahasa (arab, inggris, dan Indonesia)
Latihan kepramukaan
Pembinaan olahraga
Jenjang pendidikan
1. Program 6 (enam) tahun untuk diniyah
2. Program 6 (enam) tahun untuk lulusan SD/MI
3. Program 4 (empat) tahun (extension) untuk lulusan SMP/MTs sederajat
Tenaga pendidik
Tenaga pendidik di Pondok pesantren modern Daarul-Qoori’in terdiri dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta dan alumni pondok pesantren modern Gontor
Fasilitas
Pondok pesantren modern Daarul-Qoori’in dilengkapi dengan fasilitas milik sendiri yang terdiri dari:
1. Ruang kelas
2. Masjid
3. Asrama putra dan putri
4. MCK
5. Koperasi
6. Perkantoran
7. Lapangan olahraga
8. Ruang laboratorium Komputer
9. Dapur umum
10. Fasilitas agro industry
11. Perikanan
12. Peternakan
13. Mini Market
14. Sarana pendukung lain
Lokasi:
Kp. Cibereum, Ds. Aweh, Kec. Kalanganyar, Kab. Lebak, Prop. Banten. PO. Box: 35. Telp. (0252) 5501425
Rabu, 04 November 2009
PERCERAIAN ISLAMI, APA DAN BAGAIMANA?
Oleh: Muhammad Bachtiar El-Marzoeq
PROLOG
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, seorang muslim dituntut untuk senantiasa menjaga kerukunan dan keharmonisan didalamnya, baik suami kepada istri ataupun sebaliknya, agar romantika rumah tangga terus berkesinambungan dan senantiasa dalam naungan keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Akan tetapi dalam perjalanannya, keharmonisan itu pun datang dan pergi, terombang ambing oleh keganasan badai problematika kehidupan yang ganas, mereka terperangkap dalam keadaan, yang sukar bagi mereka untuk mencari jalan keluar, mereka dituntut untuk mengambil suatu keputusan yang sebenarnya tidak diinginkan. Akhirnya, perceraianlah jalan satunya-satunya. Baiklah pada kesempatan diskusi kita kali ini, marilah kita bahas bersama selintas tentang perceraian dan naungan agama islam dalam memandang perceraian.
PEMBAHASAN
1. Pengertiaan Talaq
Talaq secara etimologis berarti membebaskan suatu ikatan, kata talaq merupakan kata jadian dari kata Al-ithlaq yang artinya Al-tarku yaitu meninggalkan. Adapun secara terminologis talaq berarti membebaskan ikatan pernikahan dengan kata talaq atau sejenisnya.
2. Syari’at Talak
Talaq merupakan salah satu syaria’at islam, yang bisa kita dapatkan dalam kitab, sunah, ijma’ dan akal . Mari kita ketahui satu persatu dalil-dalil tersebut:
a. Dari Kitab
Firman Allah SWT yang artinya: Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS: Al-Baqoroh ayat 229)
b. Dari Hadist
Sebuah hadits nabi yang bersumber dari Umar Ra, rasulullah SAW bersabda yang artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW mentalak Istirnya Hafsah kemudian kembali dengannya.
c. Ijma’ dan Akal
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: Manusia sepakat tentang bolehnya talak, dengan alasan-alasan yang menunjukan akan kebolehannya, diantaranya ketika keadaan rumah tangga yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dengan mempertahankannya akan ada kemudaratan.
3. Hukum Talaq
Adapun hukum talaq, ulama sepakat bahwa hukumnya bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu, antara lain:
a. Haram
Seperti talaq yang dilakukan pada wanita yang sedang haid, atau apabila seorang itu takut bahwa dengan talak itu dirinya bisa terjerumus pada perzinahan.
b. Makruh
Ketika talak itu sendiri tidak dibutuhkan, dan harmonisnya kehidupan rumah tangga.
c. Mubah
Ketika seorang istri lalai dalam menenuhi hak-hak Allah SWT yang wajib dipenuhi seperti salat atau sejenisnya dan tidak mungkin lagi untuk memaksanya.
d. Mustahab
Ketika talaq itu sangat diperlukan karena buruknya perilaku seorang istri dan timbul problema yang terus berkelanjutan apabila tidak dilakukan perceraian.
e. Wajib
Seperti Ilaa. Meng-ilaa isteri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpa ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat 226 pada surat Al-Baqarah, maka suami setelah empat bulan harus memilih antara harus menyutubuhi istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikannya
4. Syarat Talaq
Untuk Syahnya Talaq, diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah:
a. Muthaliq (yang menceraikan)
1. Harus dari seorang suami
firman Allah SWT yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan. (QS: Al-Ahzab, ayat 49)
2. Baligh
Mayoritas ulama bersepakat tentang tidak sahnya talaq seseorang yang belum baligh, kecuali ulama-ulama dari kalangan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa seorang yang telah Mumayyaz sah perceraiannya dikarenakan kemampuannya untuk berpikir, bersandar dengan hadist dari Abdurrazaq yang artinya: Semua talak boleh kecuali talak seseorang yang ma’tuh yang tidak dapat lagi berpikir.
3. Berakal
Talaq Tidak sah apabila keluar dari orang yang gila atau idiot, hukum ini bersumber dari hadist nabi yang keluarkan oleh imam ahmad, daus, Nasa’i dan Ashabussunan, yaitu yang artinya: Telah diangkat pena dari tiga orang, bagi orang yang tidur sampai dia terbangun, bagi anak kecil sampai ia dewasa, bagi orang gila sampai ia sadar.
b. Muthalaq (yang ditalak) yaitu harus adanya hubungan suami istri dari pernikahan yang sah dan seorang suami harus menentukan perceraian itu dengan isyarat, sifat atau niat
c. Bentuk Talaq
Pengungkapan kata talaq merupakan dasar dari talaq itu sendiri namun kata ini bisa diganti dengan ungkapan-ungkapan yang bisa mewakilinya, sesuai dengan keadaan, baik berupa tulisan ataupun isyarat
1. Lafadz Talaq
a. Sharih:
Yaitu ungkapan yang digunakan dengan lafadzh Al-talaq itu sendiri, secara langsung, bisa difahami dan tidak mengandung arti lain, seperti perkataan seorang suami kepada istri” kamu saya talaq” redaksi talaq ini banyak sekali kita dapatkan dalam Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Talaq ayat 1 yang artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).
Namun demikian dari kalangan ulama, mereka masih berlainan pendapat tentang lafadzh sharih ini, dari ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan Dzahiriyah berpendapat bahwa lafadzh firaq dan sirah juga bagian dari lafadzh sharih, adapun dari kalangan ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa lafadzh sharih hanya lafadzh talaq itu sendiri
b. Kinayah
Yaitu ungkapan yang digunakan dengan lafadzh selain kata talaq, yang menjadikan kata itu tidak langsung difahami. Contoh kata kinayah diantaranya: Kamu telah bebas, kamu telah pisah dan sejenisnya. Abu Muhammad Ibnu Hazm berpendapat bahwa talaq tidak akan jatuh kecuali dengan salah satu kata dari tiga kata yang terdapat dalam AlQur’an yaitu kata, Sirah (Bebas), Firaq (Berpisah) Talak (Cerai).
2. Talaq Dengan Tulisan
Dengan tulisan seorang suami bisa menjatuhkan talaqnya, walaupun dia sanggup untuk berbicara. pendapat ini didukung oleh empat imam mazhad dan juga banyak dari golongan ulama.
3. Talaq Dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu untuk bisa berbicara, maka talaq dengan memaki isyarat tidak sah menurut pendapat mayoritas ulama kecuali Malikiyah. Adapun bagi orang yang bisu mayoritas ulama mengesahkan talaq mereka. Dari golongan Hanafiyah dan perkataan Syafi’iyah mereka berpendapat bahwa bagi orang yang bisu talaq dengan memakai isyarat bisa sah apabila mereka tidak mampu untuk menulis, namun jika sebaliknya maka tidak sah, karena tulisan menurut mereka lebih jelas.
d. Saksi Dalam Talaq
Jika kita bertedensi dari Al-Qur’an, penjatuhan talaq haruslah dengan saksi, ini dijelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah nereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.(QS: Ath Thalaq, Ayat 2). Namun masalah saksi ini pun masih banyak silang pendapat antara ulama diantaranya:
1. Mayoritas Ulama khalaf dan Salaf dari mereka empat imam
dan selain mereka dari golongan ulama berpendapat bahwa penjatuhan talaq harus dengan saksi, namun menurut mereka, perintah untuk mendatangkan saksi yang terdapat pada ayat Al-Qur’an diatas bukan perintah yang bersifat wajib akan tetapi bersifat Al-Nadbu (penganjuran) dengan dalih: Talaq itu sendiri adalah merupakan hak mutlak bagi seorang suami, dari itu tidak memerlukan kembali kesaksian.
5. Macam-Macam Talak
a. Talak Raj’i:
Pada talaq ini seorang suami masih diperbolehkan untuk kembali kepada istrinya, tanpa didahulukan akad baru, walau tanpa rida seorang istri, dan ini terjadi pada talak pertama dan kedua bukan pada talak ba’in. Namun apabila rujuk dilakukan setelah habis masa `iddah (tungu) maka status talaq berubah menjadi talaq bain.
b. Talaq ba’in
Talaq Ba’in yaitu talaq yang telah jatuh tiga kali, termasuk di dalamnya talaq yang jatuh pada seorang istri yang belum dicampuri serta talaq melalui jalan harta, yang sering disebut dengan khulu’. Talaq ba’in ini bisa kita bagi menjadi dua macam:
- Talaq Ba'in sughra
Talaq ini menghilangkan ikatan suami istri, Pada kondisi seperti ini seorang istri tidak lagi halal untuk dicampuri. Bagi suami yang ingin kembali pada istrinya harus melalui akad dan mahar yang baru, tanpa harus menunggu pernikahan dengan suami yang lain.
- Talak Ba’in Kubra
Talaq ini menghilangkan ikatan suami istri, dan pada kondisi seperti ini seorang istri tidak lagi halal untuk dicampuri. Bagi suami yang ingin kembali pada istrinya harus melalui akad dan mahar yang baru, dengan harus menunggu pernikahan dengan suami yang lain.
6. Masa Tunggu (‘Iddah)
a. Pengertian ‘Iddah
‘Iddah secara etimologis berarti menghitung, terambil dari kata bahasa Arab yaitu Al-iddu Wa Alhisab. Adapun secara terminologis Iddah berarti Masa yang ditentukan syaria’at setelah terjadinya perceraian, dan wajib bagi seorang istri untuk menunggu tanpa adanya hubungan suami istri sampai habis masanya.
a. Hukum ‘Iddah
Ketika ada penyebab, hukum ‘iddah wajib bagi seorang istri, hukum ini dikuatkan oleh Al-Qur’an, Sunah dan Ijma’
1. Dari Al-Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya: Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. (QS: Al-Baqarah ayat 228)
2. Dari Sunah diantaranya, hadist yang dikeluarkan oleh Bukhari dan juga Muslim bahwasannya Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Tidak halal bagi seorang bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk berkabung atas mayit (selain suaminya) diatas tiga hari, kecuali atas suaminya maka masanya selama empat bulan sepuluh hari.
b. Macam ‘Iddah
‘Iddah bisa kita klasifikasikan dalam tiga bagian yaitu:
1. Iddah Quru’
Istri-istri yang terkena ‘iddah pada bagian ini adalah istri yang telah dicampuri dan haid. Allah SWT berfirman yang artinya: Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru. (QS: Al-Baqarah ayat 228)
2. ‘Iddah dengan Melahirkan
Batas ‘iddah seorang istri ketika hamil adalah setelah melahirkan. Baik pada talaq bai’n maupun raj’i, dengan firman Allah SWT yang artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya mereka yaitu ada;ah sampai mereka melahirkan. (QS: Ath Thalaq ayat 4)
3. ‘Iddah dengan bulan
a. Istri yang terkena ‘iddah dengan bilangan bulan adalah istri tidak Haidh, maka mempunyai masa tunggu tiga bulan bersandar dari firman Allah Al-Qur’an pada surat Ath-Talaq ayat 4 yang artinya: Dan perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan. (QS; Ath-Thalaq. Ayat 4)
b. Almuthlaqah Almurtabah
Yaitu wanita yang haid kemudian dengan sebab yang tidak diketahui haidnya terhenti, tanpa kehamilan ataupun menopause, pada kondisi seperti ini apabila terjadi perceraian, maka seorarang istri terkena masa ‘iddah selama Sembilan bulan, sama dengan masa ‘iddah seorang yang hamil agar dapat diketahui kosongnya rahim, dengan tambahan tiga bulan sehingga lengkap satu tahun, setelah masa tunggu ini seorang istri diperbolehkan untuk menikah lagi.
c. Wanita yang meninggl dunia suaminya
Wanita yang ditinggal mati suaminya setelah pernikahan yang sah, baik meninggalnya setelah dicampuri atau tidak dengan syarat tidak dalam keadaan hamil, maka masa tunggu yang dimiliki adalah empat bulan sepuluh hari dari bulan Qamamriyah, dimulai dari hari wafat suaminya, dari keumuman firman Allah SWT yang artinya: Orang-oramg yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menagguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS: Al-Baqarah ayat 234)
EPILOG
Semoga dengan makalah yang singkat ini, dapat menambah pengetahuan kita tentang khazanah turast islami terutama dalam pembahasan Fiqih, cabang ilmu yang sangat dibutuhkan dalam menuntun kehidupan seorang muslim. Wallahu A'lam Bissawab.
PROLOG
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, seorang muslim dituntut untuk senantiasa menjaga kerukunan dan keharmonisan didalamnya, baik suami kepada istri ataupun sebaliknya, agar romantika rumah tangga terus berkesinambungan dan senantiasa dalam naungan keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Akan tetapi dalam perjalanannya, keharmonisan itu pun datang dan pergi, terombang ambing oleh keganasan badai problematika kehidupan yang ganas, mereka terperangkap dalam keadaan, yang sukar bagi mereka untuk mencari jalan keluar, mereka dituntut untuk mengambil suatu keputusan yang sebenarnya tidak diinginkan. Akhirnya, perceraianlah jalan satunya-satunya. Baiklah pada kesempatan diskusi kita kali ini, marilah kita bahas bersama selintas tentang perceraian dan naungan agama islam dalam memandang perceraian.
PEMBAHASAN
1. Pengertiaan Talaq
Talaq secara etimologis berarti membebaskan suatu ikatan, kata talaq merupakan kata jadian dari kata Al-ithlaq yang artinya Al-tarku yaitu meninggalkan. Adapun secara terminologis talaq berarti membebaskan ikatan pernikahan dengan kata talaq atau sejenisnya.
2. Syari’at Talak
Talaq merupakan salah satu syaria’at islam, yang bisa kita dapatkan dalam kitab, sunah, ijma’ dan akal . Mari kita ketahui satu persatu dalil-dalil tersebut:
a. Dari Kitab
Firman Allah SWT yang artinya: Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS: Al-Baqoroh ayat 229)
b. Dari Hadist
Sebuah hadits nabi yang bersumber dari Umar Ra, rasulullah SAW bersabda yang artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW mentalak Istirnya Hafsah kemudian kembali dengannya.
c. Ijma’ dan Akal
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: Manusia sepakat tentang bolehnya talak, dengan alasan-alasan yang menunjukan akan kebolehannya, diantaranya ketika keadaan rumah tangga yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dengan mempertahankannya akan ada kemudaratan.
3. Hukum Talaq
Adapun hukum talaq, ulama sepakat bahwa hukumnya bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu, antara lain:
a. Haram
Seperti talaq yang dilakukan pada wanita yang sedang haid, atau apabila seorang itu takut bahwa dengan talak itu dirinya bisa terjerumus pada perzinahan.
b. Makruh
Ketika talak itu sendiri tidak dibutuhkan, dan harmonisnya kehidupan rumah tangga.
c. Mubah
Ketika seorang istri lalai dalam menenuhi hak-hak Allah SWT yang wajib dipenuhi seperti salat atau sejenisnya dan tidak mungkin lagi untuk memaksanya.
d. Mustahab
Ketika talaq itu sangat diperlukan karena buruknya perilaku seorang istri dan timbul problema yang terus berkelanjutan apabila tidak dilakukan perceraian.
e. Wajib
Seperti Ilaa. Meng-ilaa isteri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpa ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat 226 pada surat Al-Baqarah, maka suami setelah empat bulan harus memilih antara harus menyutubuhi istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikannya
4. Syarat Talaq
Untuk Syahnya Talaq, diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah:
a. Muthaliq (yang menceraikan)
1. Harus dari seorang suami
firman Allah SWT yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan. (QS: Al-Ahzab, ayat 49)
2. Baligh
Mayoritas ulama bersepakat tentang tidak sahnya talaq seseorang yang belum baligh, kecuali ulama-ulama dari kalangan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa seorang yang telah Mumayyaz sah perceraiannya dikarenakan kemampuannya untuk berpikir, bersandar dengan hadist dari Abdurrazaq yang artinya: Semua talak boleh kecuali talak seseorang yang ma’tuh yang tidak dapat lagi berpikir.
3. Berakal
Talaq Tidak sah apabila keluar dari orang yang gila atau idiot, hukum ini bersumber dari hadist nabi yang keluarkan oleh imam ahmad, daus, Nasa’i dan Ashabussunan, yaitu yang artinya: Telah diangkat pena dari tiga orang, bagi orang yang tidur sampai dia terbangun, bagi anak kecil sampai ia dewasa, bagi orang gila sampai ia sadar.
b. Muthalaq (yang ditalak) yaitu harus adanya hubungan suami istri dari pernikahan yang sah dan seorang suami harus menentukan perceraian itu dengan isyarat, sifat atau niat
c. Bentuk Talaq
Pengungkapan kata talaq merupakan dasar dari talaq itu sendiri namun kata ini bisa diganti dengan ungkapan-ungkapan yang bisa mewakilinya, sesuai dengan keadaan, baik berupa tulisan ataupun isyarat
1. Lafadz Talaq
a. Sharih:
Yaitu ungkapan yang digunakan dengan lafadzh Al-talaq itu sendiri, secara langsung, bisa difahami dan tidak mengandung arti lain, seperti perkataan seorang suami kepada istri” kamu saya talaq” redaksi talaq ini banyak sekali kita dapatkan dalam Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Talaq ayat 1 yang artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).
Namun demikian dari kalangan ulama, mereka masih berlainan pendapat tentang lafadzh sharih ini, dari ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan Dzahiriyah berpendapat bahwa lafadzh firaq dan sirah juga bagian dari lafadzh sharih, adapun dari kalangan ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa lafadzh sharih hanya lafadzh talaq itu sendiri
b. Kinayah
Yaitu ungkapan yang digunakan dengan lafadzh selain kata talaq, yang menjadikan kata itu tidak langsung difahami. Contoh kata kinayah diantaranya: Kamu telah bebas, kamu telah pisah dan sejenisnya. Abu Muhammad Ibnu Hazm berpendapat bahwa talaq tidak akan jatuh kecuali dengan salah satu kata dari tiga kata yang terdapat dalam AlQur’an yaitu kata, Sirah (Bebas), Firaq (Berpisah) Talak (Cerai).
2. Talaq Dengan Tulisan
Dengan tulisan seorang suami bisa menjatuhkan talaqnya, walaupun dia sanggup untuk berbicara. pendapat ini didukung oleh empat imam mazhad dan juga banyak dari golongan ulama.
3. Talaq Dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu untuk bisa berbicara, maka talaq dengan memaki isyarat tidak sah menurut pendapat mayoritas ulama kecuali Malikiyah. Adapun bagi orang yang bisu mayoritas ulama mengesahkan talaq mereka. Dari golongan Hanafiyah dan perkataan Syafi’iyah mereka berpendapat bahwa bagi orang yang bisu talaq dengan memakai isyarat bisa sah apabila mereka tidak mampu untuk menulis, namun jika sebaliknya maka tidak sah, karena tulisan menurut mereka lebih jelas.
d. Saksi Dalam Talaq
Jika kita bertedensi dari Al-Qur’an, penjatuhan talaq haruslah dengan saksi, ini dijelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah nereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.(QS: Ath Thalaq, Ayat 2). Namun masalah saksi ini pun masih banyak silang pendapat antara ulama diantaranya:
1. Mayoritas Ulama khalaf dan Salaf dari mereka empat imam
dan selain mereka dari golongan ulama berpendapat bahwa penjatuhan talaq harus dengan saksi, namun menurut mereka, perintah untuk mendatangkan saksi yang terdapat pada ayat Al-Qur’an diatas bukan perintah yang bersifat wajib akan tetapi bersifat Al-Nadbu (penganjuran) dengan dalih: Talaq itu sendiri adalah merupakan hak mutlak bagi seorang suami, dari itu tidak memerlukan kembali kesaksian.
5. Macam-Macam Talak
a. Talak Raj’i:
Pada talaq ini seorang suami masih diperbolehkan untuk kembali kepada istrinya, tanpa didahulukan akad baru, walau tanpa rida seorang istri, dan ini terjadi pada talak pertama dan kedua bukan pada talak ba’in. Namun apabila rujuk dilakukan setelah habis masa `iddah (tungu) maka status talaq berubah menjadi talaq bain.
b. Talaq ba’in
Talaq Ba’in yaitu talaq yang telah jatuh tiga kali, termasuk di dalamnya talaq yang jatuh pada seorang istri yang belum dicampuri serta talaq melalui jalan harta, yang sering disebut dengan khulu’. Talaq ba’in ini bisa kita bagi menjadi dua macam:
- Talaq Ba'in sughra
Talaq ini menghilangkan ikatan suami istri, Pada kondisi seperti ini seorang istri tidak lagi halal untuk dicampuri. Bagi suami yang ingin kembali pada istrinya harus melalui akad dan mahar yang baru, tanpa harus menunggu pernikahan dengan suami yang lain.
- Talak Ba’in Kubra
Talaq ini menghilangkan ikatan suami istri, dan pada kondisi seperti ini seorang istri tidak lagi halal untuk dicampuri. Bagi suami yang ingin kembali pada istrinya harus melalui akad dan mahar yang baru, dengan harus menunggu pernikahan dengan suami yang lain.
6. Masa Tunggu (‘Iddah)
a. Pengertian ‘Iddah
‘Iddah secara etimologis berarti menghitung, terambil dari kata bahasa Arab yaitu Al-iddu Wa Alhisab. Adapun secara terminologis Iddah berarti Masa yang ditentukan syaria’at setelah terjadinya perceraian, dan wajib bagi seorang istri untuk menunggu tanpa adanya hubungan suami istri sampai habis masanya.
a. Hukum ‘Iddah
Ketika ada penyebab, hukum ‘iddah wajib bagi seorang istri, hukum ini dikuatkan oleh Al-Qur’an, Sunah dan Ijma’
1. Dari Al-Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya: Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. (QS: Al-Baqarah ayat 228)
2. Dari Sunah diantaranya, hadist yang dikeluarkan oleh Bukhari dan juga Muslim bahwasannya Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Tidak halal bagi seorang bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk berkabung atas mayit (selain suaminya) diatas tiga hari, kecuali atas suaminya maka masanya selama empat bulan sepuluh hari.
b. Macam ‘Iddah
‘Iddah bisa kita klasifikasikan dalam tiga bagian yaitu:
1. Iddah Quru’
Istri-istri yang terkena ‘iddah pada bagian ini adalah istri yang telah dicampuri dan haid. Allah SWT berfirman yang artinya: Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru. (QS: Al-Baqarah ayat 228)
2. ‘Iddah dengan Melahirkan
Batas ‘iddah seorang istri ketika hamil adalah setelah melahirkan. Baik pada talaq bai’n maupun raj’i, dengan firman Allah SWT yang artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya mereka yaitu ada;ah sampai mereka melahirkan. (QS: Ath Thalaq ayat 4)
3. ‘Iddah dengan bulan
a. Istri yang terkena ‘iddah dengan bilangan bulan adalah istri tidak Haidh, maka mempunyai masa tunggu tiga bulan bersandar dari firman Allah Al-Qur’an pada surat Ath-Talaq ayat 4 yang artinya: Dan perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan. (QS; Ath-Thalaq. Ayat 4)
b. Almuthlaqah Almurtabah
Yaitu wanita yang haid kemudian dengan sebab yang tidak diketahui haidnya terhenti, tanpa kehamilan ataupun menopause, pada kondisi seperti ini apabila terjadi perceraian, maka seorarang istri terkena masa ‘iddah selama Sembilan bulan, sama dengan masa ‘iddah seorang yang hamil agar dapat diketahui kosongnya rahim, dengan tambahan tiga bulan sehingga lengkap satu tahun, setelah masa tunggu ini seorang istri diperbolehkan untuk menikah lagi.
c. Wanita yang meninggl dunia suaminya
Wanita yang ditinggal mati suaminya setelah pernikahan yang sah, baik meninggalnya setelah dicampuri atau tidak dengan syarat tidak dalam keadaan hamil, maka masa tunggu yang dimiliki adalah empat bulan sepuluh hari dari bulan Qamamriyah, dimulai dari hari wafat suaminya, dari keumuman firman Allah SWT yang artinya: Orang-oramg yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menagguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS: Al-Baqarah ayat 234)
EPILOG
Semoga dengan makalah yang singkat ini, dapat menambah pengetahuan kita tentang khazanah turast islami terutama dalam pembahasan Fiqih, cabang ilmu yang sangat dibutuhkan dalam menuntun kehidupan seorang muslim. Wallahu A'lam Bissawab.
Selasa, 28 Juli 2009
Dampak Hermenutika Pada Tafsir Al-qur`an
Oleh. Muhammad Bachtiar El-Marzoeq
PROLOG
Ibarat virus ganas yang terus menjalar dan susah untuk mendapatkan vaksin yang tepat untuk membasminya. Liberalisme seakan terus bermanuver tanpa henti dan terus menghantam pemikiran-pemikiran kalangan akademisi kita saat ini. Akhir-akhir ini, kita-umat Islam-dikejutkan oleh berbagai macam serangan arus pemikiran liberal, baik yang dilakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran barat. Dalam ilmu tafsir, dimunculkanlah ilmu hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bibel ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Qur`an. Pemikiran ini terus berkembang dan mengeparkan sayapnya ke berbagai kampus-kampus di negeri kita tercinta, bahkan telah jauh pada tarap pengesahan metodologi ini menjadi kurikulum kampus dan menjadi mata kuliah wajib di jurusan tafsir dan hadist selanjutnya disosialisasikan ke berbagai jurusan lainya. Seakan-akan para petinggi kampus menutup mata akan bahaya yang ditimbulkan oleh perang pemikiran ini. Karena pada dasarnya dikalangan Kristen pun, mereka menolak gerakan liberalisasi itu sendiri.
Kampus-kampus Islam kini makin bertambah jumlahnya. Mahasiswa pun juga bertambah. Namun, tantangan nya pun juga tidak bertambah ringan. Disamping serbuan arus komersialisasi pendidikan, karena kecilnya tanggung jawab pemerintah, masalah yang lebih berat yang dihadapi para akademisi Muslim di perguruan tinggi ialah besarnya serbuan arus pemikiran barat ke dalam studi dan pemikiran islam. Masalah ini semakin berat sejalan dengan semakin berjubelnya ribuan alumni pusat-pusat studi islam di Barat yang kini memegang posisi-posisi penting sebagai dosen dan peneliti di kampus-kampus berlabel Islam. Misi orientalisme Barat telah semakin menunjukan kesuksesannya di Indonesia. Jelas, ilmu penafsiran yang berasal dari dari tradisi di luar islam ini, dulunya tidak dikenal oleh para ulama Islam, jika ilmu ini diajarkan tentu ada maksudnya, yaitu ingin menggantikan metodologi ilmu tafsir yang selama ini kita kenal.
PEMBAHASAN
1.Apa itu Hermeneutika
Secara harfiyah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang mitologis dalam mitologi yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius) dikalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok hermes dengan nabi idris. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang dikemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan Filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu social atau humaniora.
Dalam buku Dr. Shofa Abdul salam Ali Ja`far yang berjudul “Hermeneutika Tafsir Alaslu Fi Amalil Fanni” bahwa istilah hermeneutika bisa ditinjau dari beberapa makna diantaranya:
a. Perkataan. Yaitu penyampaian melalui kata-kata.
b. Penjelasan. Seperti menjelaskan sesuatu hal yang belum dapat difahami.
c. Terjamah. Yaitu menerjemahkan kata dari atau ke bahasa asing.
Adapun tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dalam Bibel, heremeneutika bukan sekedar tafsir melainkan satu metode tafsir tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan dengan metode tafsir Al-Qur`àn. Dikalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bibel sudah sangat lazim digunakan, walaupun masih banyak kontroversi yang terjadi dalam kalangan mereka sendiri. salah satu buku yang dirujuk oleh kalangan akademisi IAIN dalam menulis hermeneutikaadalah buku E. Sumaryono berjudul Hemeneutika: Sebuah Metode filsafat. Buku ini memuat kesalahan yang fatal dalam memandang konsep teks kitab suci agama-agama yang menyatakan bahwa tafsir (Al-Qur`an) sama dengan hermeneutika. Ditulis dalam buku ini: “Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapatkan inspirasi Illahi seperti Al-Qur`an, Taurat, Kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika . Bagi kaum Kristen, realitas teks Bibel memang membutuhkan hermeneutika untuk penafsiran Bibel mereka. Para Hermeneutan dapat menelaah dengan kritis makna teks Bibel yang memang teks manusia, mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi historis, dan makna literal suatu teks Bibel. Perbedaan realitas teks antara teks Al-Qur’an dan teks Bibel juga membawa konsekuensi adanya perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Tetapi metode historis kritis dan analisis penulis tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Qur`an, yang memang merupakan kitab yang tanzil.
2. DAMPAK HERMENEUTIKA
a.Relativisme Tafsir
Pada dampak relativisme Tafsir, para hermeneutan menganut faham bahwa, tidak ada tafsir yang absolute, semua bersifat relative dan bisa berubah sesuai situasi dan kondisi pada saat penafsiran. Semua dipandang personal, temporal, kontekstual, relative. Prof. Amin Abdullah menggambarkan fungsi hermeneutika sebagai berikut. “ Dengan sangat intensif hermeneutika membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah terbatas” Parsial Kontekstual” pemahamannya, serta bisa saja keliru.
Pada konsep relativisme ini, tidak ada sesuatu yang absolut, semua manusia bisa salah, lantas bagaimana dengan nabi Muhammad SAW. Apabila konsep ini sipaksakan untuk diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur`an, maka terbongkarlah konsep-konsep dasar dalam syari`at Islam. Padahal dalam menafsirkan Al-Qur`an para ulama terdahulu kita tidak pernah berselisih akan kewajiban sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, Haji ke Baitullah dan mengeluarkan zakat. Kita tidak mendapatkan dari ulama kita yang menghalalkan perkawinan antar agama, homose ksual, lesbian. Tiba-tiba muncul buku Muslimah Reformis, Prof. Musdah Mulia menyampaikan dalam bukunya tersebut, metode kontekstualisasi untuk sura Al-Mumtahanah ayat 10, yang menjadi landasan pengharaman pernikahan antara muslim dan non muslim. Katanya: jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan itu sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya peperangan antara kaum mikminn dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaskudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana lawan. Karena itu ayat ini harus dipahami secara kontekstua. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya. Akan kah bermunculan lagi Musdah Mulia yang berikutnya, tentu kita tidak mengharapkan hal itu. Adapun bahaya yang akan ditimbulkan dari faham relativisme ini diantaranya adalah:
1. Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas islam, sehingga
beranggapan bahwa, semua hukum Islam bersifat relative.
2. Menghancurkan bangunan Ilmu pengetahuan yang lahir dari Al-Qur`an dan Sunnah
Rasul yang telah teruji selama ratusan tahun.
3. Menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Bagi
mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum islam yang sudah dinyatakan final dan tetap (Tsawabit) akan senantiasa dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
b. Curiga dan Mencerca Ulama Islam
Para hermeneutan, mereka tidak segan-segan mencerca ulama-ulama islam yan terkemuka, yang menjadi qudwah umat islam selama ratusan tahun, diantara ulama yang mereka gugat adalah Imam Syafi`i. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa selain penemu metodologi studi islam yang brilian yaitu cabang ilmu Ushulul Fiqh, dengan kitabnya Al-Risalah, imam Syafi`ie juga juga sebagai mufassir. Beliau menjadi panutan ulama dan muslimin sedunia. Tapi apa yang dilakukan oleh para hermeneutan, dengan menjadikan imam Syafi`i sebagai bahan kritikan, walaupun sebenarnya sikap mereka tidak berangkat dari studi kritis yang utuh, dan objektif. Dalam buku Fiqh Lintas agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan asian Foundation, disebutkan: “ Kaum muslim lebih suka dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran Fiqh yang dibuat oleh imam Syafi`i. Kita lupa, Imam Syafi`i memang arsitek Ushulul fiqh yang paling brilian, tapi juga karena Syafi`ilah pemikiran-pemikiran fiqh tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi`i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir Fiqih muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi`i itu diposisikan begitu agung, sehingga saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash syar`i (Al-Qur`an dan hadist). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu di bawah kerangka Syafi`i. Dan banyak lagi cercaan-cercaan yang mereka lontarkan kepada ulama-ulama Islam yang telah menjadi panutan umat sejak ratusan tahun lamanya, jika dicermati mereka selau bersikap kritis kepada para ulama Islam dan dengan mudah mengambil perkataan-perkataan pemikir barat tanpa sikap kritis sedikitpun. Para pemikir barat yang sering menjadi rujukan mereka diantaranya, Immanuel Kant, Paul Ricour, Habermas dan sebagainya.Ibarat virus ganas yang terus menjalar dan susah untuk mendapatkan vaksin yang tepat untuk membasminya. Liberalisme seakan terus bermanuver tanpa henti dan terus menghantam pemikiran-pemikiran kalangan akademisi kita saat ini. Akhir-akhir ini, kita-umat Islam-dikejutkan oleh berbagai macam serangan arus pemikiran liberal, baik yang dilakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran barat. Dalam ilmu tafsir, dimunculkanlah ilmu hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bibel ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Qur`an. Pemikiran ini terus berkembang dan mengeparkan sayapnya ke berbagai kampus-kampus di negeri kita tercinta, bahkan telah jauh pada tarap pengesahan metodologi ini menjadi kurikulum kampus dan menjadi mata kuliah wajib di jurusan tafsir dan hadist selanjutnya disosialisasikan ke berbagai jurusan lainya. Seakan-akan para petinggi kampus menutup mata akan bahaya yang ditimbulkan oleh perang pemikiran ini. Karena pada dasarnya dikalangan Kristen pun, mereka menolak gerakan liberalisasi itu sendiri.
Kampus-kampus Islam kini makin bertambah jumlahnya. Mahasiswa pun juga bertambah. Namun, tantangan nya pun juga tidak bertambah ringan. Disamping serbuan arus komersialisasi pendidikan, karena kecilnya tanggung jawab pemerintah, masalah yang lebih berat yang dihadapi para akademisi Muslim di perguruan tinggi ialah besarnya serbuan arus pemikiran barat ke dalam studi dan pemikiran islam. Masalah ini semakin berat sejalan dengan semakin berjubelnya ribuan alumni pusat-pusat studi islam di Barat yang kini memegang posisi-posisi penting sebagai dosen dan peneliti di kampus-kampus berlabel Islam. Misi orientalisme Barat telah semakin menunjukan kesuksesannya di Indonesia. Jelas, ilmu penafsiran yang berasal dari dari tradisi di luar islam ini, dulunya tidak dikenal oleh para ulama Islam, jika ilmu ini diajarkan tentu ada maksudnya, yaitu ingin menggantikan metodologi ilmu tafsir yang selama ini kita kenal.
PEMBAHASAN
1.Apa itu Hermeneutika
Secara harfiyah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang mitologis dalam mitologi yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius) dikalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok hermes dengan nabi idris. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang dikemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan Filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu social atau humaniora.
Dalam buku Dr. Shofa Abdul salam Ali Ja`far yang berjudul “Hermeneutika Tafsir Alaslu Fi Amalil Fanni” bahwa istilah hermeneutika bisa ditinjau dari beberapa makna diantaranya:
a. Perkataan. Yaitu penyampaian melalui kata-kata.
b. Penjelasan. Seperti menjelaskan sesuatu hal yang belum dapat difahami.
c. Terjamah. Yaitu menerjemahkan kata dari atau ke bahasa asing.
Adapun tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dalam Bibel, heremeneutika bukan sekedar tafsir melainkan satu metode tafsir tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan dengan metode tafsir Al-Qur`àn. Dikalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bibel sudah sangat lazim digunakan, walaupun masih banyak kontroversi yang terjadi dalam kalangan mereka sendiri. salah satu buku yang dirujuk oleh kalangan akademisi IAIN dalam menulis hermeneutikaadalah buku E. Sumaryono berjudul Hemeneutika: Sebuah Metode filsafat. Buku ini memuat kesalahan yang fatal dalam memandang konsep teks kitab suci agama-agama yang menyatakan bahwa tafsir (Al-Qur`an) sama dengan hermeneutika. Ditulis dalam buku ini: “Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapatkan inspirasi Illahi seperti Al-Qur`an, Taurat, Kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika . Bagi kaum Kristen, realitas teks Bibel memang membutuhkan hermeneutika untuk penafsiran Bibel mereka. Para Hermeneutan dapat menelaah dengan kritis makna teks Bibel yang memang teks manusia, mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi historis, dan makna literal suatu teks Bibel. Perbedaan realitas teks antara teks Al-Qur’an dan teks Bibel juga membawa konsekuensi adanya perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Tetapi metode historis kritis dan analisis penulis tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Qur`an, yang memang merupakan kitab yang tanzil.
2. DAMPAK HERMENEUTIKA
a.Relativisme Tafsir
Pada dampak relativisme Tafsir, para hermeneutan menganut faham bahwa, tidak ada tafsir yang absolute, semua bersifat relative dan bisa berubah sesuai situasi dan kondisi pada saat penafsiran. Semua dipandang personal, temporal, kontekstual, relative. Prof. Amin Abdullah menggambarkan fungsi hermeneutika sebagai berikut. “ Dengan sangat intensif hermeneutika membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah terbatas” Parsial Kontekstual” pemahamannya, serta bisa saja keliru.
Pada konsep relativisme ini, tidak ada sesuatu yang absolut, semua manusia bisa salah, lantas bagaimana dengan nabi Muhammad SAW. Apabila konsep ini sipaksakan untuk diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur`an, maka terbongkarlah konsep-konsep dasar dalam syari`at Islam. Padahal dalam menafsirkan Al-Qur`an para ulama terdahulu kita tidak pernah berselisih akan kewajiban sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, Haji ke Baitullah dan mengeluarkan zakat. Kita tidak mendapatkan dari ulama kita yang menghalalkan perkawinan antar agama, homose ksual, lesbian. Tiba-tiba muncul buku Muslimah Reformis, Prof. Musdah Mulia menyampaikan dalam bukunya tersebut, metode kontekstualisasi untuk sura Al-Mumtahanah ayat 10, yang menjadi landasan pengharaman pernikahan antara muslim dan non muslim. Katanya: jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan itu sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya peperangan antara kaum mikminn dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaskudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana lawan. Karena itu ayat ini harus dipahami secara kontekstua. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya. Akan kah bermunculan lagi Musdah Mulia yang berikutnya, tentu kita tidak mengharapkan hal itu. Adapun bahaya yang akan ditimbulkan dari faham relativisme ini diantaranya adalah:
1. Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas islam, sehingga
beranggapan bahwa, semua hukum Islam bersifat relative.
2. Menghancurkan bangunan Ilmu pengetahuan yang lahir dari Al-Qur`an dan Sunnah
Rasul yang telah teruji selama ratusan tahun.
3. Menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Bagi
mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum islam yang sudah dinyatakan final dan tetap (Tsawabit) akan senantiasa dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
b. Curiga dan Mencerca Ulama Islam
c.Dekonsruksi Konsep Wahyu
Sebagian pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan dan menggugat otentitas Al-Qur`an sebagai kitab yang lafadz dan maknanya dari Allah. Pengguna hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur`an cendrung memandang teks sebagai produk budaya (manusia) dan enggan terhadap hal-hal yang bersifat tresenden. Seorang hermeneut yaitu Nasr Hamid Abu Zaid memandang bahwa Al-Qur`an adalah produk budaya Arab. Dia tidak bisa melakukan penafsiran ala hermeneutika, kecuali dengan terlebih dulu menurunkan derajat al-Qur`an dari teks wahyu menjadi teks yang manusiawi, bahwa Al-Qur`an yang sudah keluar dari mulut nabi Muhammad adalah bahasa Arab biasa, yang difahami oleh orang-orang Arab ketika itu. Pendapat Abu Zaid dan kalangan dekonstruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang Al-Qur`an yang selama ini diyakini kaum Muslimin, bahwa Al-Qur`an, baik lafadz dan maknanya dari Allah. Dalam kensepsi Islam, Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, dan tidak terpengaruh oleh kondisi kejiawaan, sosial dan budaya setempat pada ketika itu. Beliau tidak menambah atau mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Belaiu pun terjaga dari kesalahan, karena beliau Ma`shum.
PENUTUP
Studi kritis dan metodologi seperti hermenetika pada tafsir Al-Qur`an yang mereka tekuni ini, memang suatu hal yang baru dalam khazanah islam. dengan artian, ulama terdahulu kita selalu menempatkan nas-nash syar`i (Al-Qur`an dan hadist) sebagai rujukan pertama dalam menafsirkan Al-Qur`an, bukan pada Historis kontekstual, personal, temporal, relative atau metodologi-metodologi yang selalu mengedapankan rasional dan daya nalar manusia yang bersifat terbatas sebagai landasan. Dengan tujuan Al-Qur`an bukanlah lagi sesuatu yang sakral dan absolute, yang semua manusia mempunyai hak untuk menginterpretasikannya sesuka hati. Dan kita mempunyai tanggung jawab besar akan hal ini, agar hegemoni pemikiran barat terutama pada bidang studi islam tidak serta merta memporak porandakan konstruksi syari`at islam kita yang luhur. Wallahu A`lam Bissawab
Kamis, 25 Juni 2009
Selayang Padang Politk Syar'i
Oleh; Muhammad Bachtiar
Topik politik seakan tak habis diperbincangkan. Dari semua status sosial membincangkannnya, baik strata atas, menengah ataupun bawah. Kalau kita boleh katakan, dari tukang becak sampai politikus itu sendiri. Itulah politik, bagaikan laut yang tak bertepi, terlalu berlebihan mungkin, tapi menurut penulis, ungkapan itulah yang pantas disandangkan, karena ia takkan habis ditelan zaman. Namun, timbul pertanyaan bagi penulis, kira-kira apa yah manfaat politik itu? Sebenarnya politik itu bersih nggak yah? Karena memang dalam realita -khususnya menurut penulis-, politik itu kotor. Sebagian orang berasumsi bahwa mereka (politikus-red) melumurkan diri mereka dengan kotoran , mengotorkan diri dengan uang rakyat, janji-janji manis. Kampanye mereka jadikan panggung sandiwara, tempat membual, itu semua mereka jadikan fasilitas agar bisa mengantarkan pada kekuasaan. Itulah mungkin sepotong fenomena yang bisa kita saksikan dan rasakan dari praktek politik di negeri ini.
Tapi, yakinlah! Allah Swt. tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia, bahkan nyamuk unyil sekalipun tak luput dari pandangan Allah, apalagi politik, yang mana dalam eksistensinya berperan besar dalam mengatur kehidupan. Namun pada kesempatan ini, mungkin kita akan berfokus pada politik yang berasaskan syariah, atau yang biasa kita sebut dengan as-Siasah asy-Syar`iyyah. Ulama-ulama kita terdahulu maupun sekarang telah membahasnya. Dan banyak sekali buku-buku yang telah mereka susun. Menurut mereka bahwa politk syari` adalah politik yang berdiri di atas pondasi-pondasi syar`I, yang dapat ditinjau dari berbagai aspek,termasuk aspek hukum. Mereka juga tidak menafikan, bahwa tidak semua poitik itu syar`i, seperti perpolitikan di negeri kita. Mungkin bisa dikatakan bahwa mayoritas dari politikusnya jauh dari politik yang berlandaskan syar`i. Karena -menurut hemat penulis-, apabila politik yang mereka geluti itu syar`i, mungkin akan jauh dari makar atau kerusakan, baik sosial, ekonomi, budaya maupun agama.
Jika kita flashback sejenak pada era 1967-1987-an, melalui penuturan aktivis angkatan 66, Hussein Umar, pemerintah orde baru pada saat itu melakukan deideologisasi, depoitisasi, dan sekulerisasi. ”Islamisasi politik dan depolitisasi islam adalah bagian kebijakan kekuasaan yang mencerminkan islamofobia,” kata Husein Umar dalam sebuah seminar dakwah di Gedung Perpusakan Nasional, Jakarta, 24 Juni 1995. Atau dalam bahasa Jendral Soemitro, “sekulerisasi politik.” Kristenisasi merajalela. Berbagai program pendakalan aqidah, seperti rencana pengajaran panca agama, penyelenggaraan SDSB, Pendidikan Moral Pancasila, penghapusan libur Ramadhan. Jilbab dilarang. Berbagai rekayasa politik terhadap umat Islam dijalankan. Ektrimisasi Islam dijalankan. “ Berbagai peristiwa yang dialami aktivis dakwah pada era ali Moertopo-Sujono Humardani mengingatkan kita pada saran Snouck Hurgronje kepada pemerintah imperialis Belanda untuk memadamkan cita-cita umat Islam yang dipimpin para ulama, “ Kata Hussein Umar. Jelas! Dalam daya nalar kita, bahwa politisasi yang terjadi pada era ini
benar-benar telah menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat dari berbagai segi, terutama agama, yang pada era itu disebut-sebut sebagai sejarah politik yang paling kelam yang dialami oleh umat Islam. Ini mungkin cerminan politik pada era itu, yang jauh sekali dari asas syar`i. Ketika politikus-politikus tidak lagi mengiraukan syari`ah, maka yang akan terbersit dalam benak mereka adalah kekuasaan dan materi. Kalau bisa dikatakan, semua ini merupakan dosa warisan yang diwariskan politisi terdahulu. Dan tradisi ini terus dilestarikan, bahkan dikembangkan, yang penting menurut mereka, kursi itu tetap melekat. Kesejahteraan rakyat tak dipikirkan lagi. Gambaran politik seperti ini bukanlah cerminan politik syar`i (as-Siyasah as-Syar`iyyah), politik yang menjadikan syari`at sebagai sandaran segala aktivitas. Memang tak dapat dipungkiri, hampir sebagian besar ideologi barat mengingkari politk syar`i itu sendiri, mereka berpendapat bahwa tidak ada agama dalam politik, atau tidak ada politik dalam agama, atau yang sering kita dengar dengan sekulerisme. Dan ada juga diantara mereka yang bersikap kontras, mereka menganggap Islam itu adalah politik, atau dalam istilah mereka al-Islam as-Siyasi (Islam politik), tapi slogan ini tak lain hanyalah sekedar alat dalam rangka penistaan agama Islam. Ini merupakan tugas kita untuk memberikan pencerahan tentang politik syar`i itu sendiri, baik etimologi ataupun terminiloginya, bahkan harus kita sodorkan pandangan ulama-ulama tentang hal ini, tentunya setelah memahami secara eksplisit, agar tidak terjadi kekeliruaan seperti yang dialami oleh Jaringan Islam Liberalis, Sekularis, ataupun markis. Maka dari itu, penulis ingin menyodorkan sedikit dari pendapat-pendapat para ulama, baik dari kalangan Salaf, maupum Khalaf, tentu dengan segala keterbatasan dan minimnya kapabilitas penulis. Arti dari syari’at yang dinisbatkan pada politik. Pertama kita harus mengetahui maksud syari’at yang dinisbatkan pada politik itu sendiri, karena syari’ah itu terlalu luas. Kata syari’at sering tergambar dalam pikiran manusia adalah sesuatu yang menakutkan. Yang mana syari’at ini juga sering digambarkan sebagai kumpulan dari perkataan-perkataan para ulama Fiqih modern. Menurut Dr. Yusuf Qhardawi, dalam bukunya as-Siyasah asy-Syar’iyah, semua ini adalah dugaan-dugaan tentang syaria’at yang serampangan, dan bukan hakikat syari’at itu sendiri. Dan menurut beliau, syaria’at yang hakiki adalah syari’at yang diberikan Allah Swt. Untuk memberikan kemudahan kepada hamba-Nya, bukan kesusahan. Untuk menghilangkan ketakutan, bukan sebaliknya. Banyak sekali dalil-dalil yang kita bisa dapatkan, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadist, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185, “Allah menghendaki kemdahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Dan banyak komentar-komentar para ulama salaf maupun khalaf tentang hal ini, diantaranya, apa yang dinukil Ibnu Qayyim dalam kitabnya, at-Turuq al-Hukmiyah, dari al-Allamah Ibnu Aqil al-Hanbali dalam kitabnya, al-Funun, ia berkata, “telah ma`lum, bahwa dalam menjalankan roda kekuasaan diperbolehkan dengan menggunaksn politik syar`i (as-Siyasah asy-Syar`iyyah ), dan Imam Syafi`i juga berkomentar tentang hal ini, “tidak ada politik, kecuali yang singkron dengan syari`at.” Menurut Ibnu Aqil, apabila politik itu semata-semata untuk kemaslahatan manusia, maka politik itu akan berbuah perubahan yang positif dan jauh dari imperessi negatif. Juga contoh Siyasah Syar’iyah yang dilakukan al-Khulafa ar-Rasyidin dan sahabat-sahahabatnya, serta yang menggantikan posisi setelahnya. Diantaranya, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Sidiq, yaitu dengan membakar para homoseksual, agar mereka merasakan panasnya api dunia sebelum akhirat. Juga apa yang dilakukan Umar bin al-Khattab dengan mengumpulkan manusia dalam satu huruf dalam membaca Alqur’an tujuh huruf yang bersumber dari Rasulullah Saw., agar tidak terjadi perpecahan dalam umat Islam. Inilah sedikit dari contoh perpolitikan yang dilaksanakan oleh para pemimpin islam tedahulu, walau mereka tidak menghukumi segala sesuatunya dengan al-Qur’an secara tekstual, tapi tetap bertendensi dengan al-Qur’an. Sejenak kembali menela’ah tujuan-tujuan mulia yang harus selalu berdampingan dan berjalan selaras dengan syari’at, diantaranya, menjaga Agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Tujuan-tujuan ini merupakan refleksi asy-Syari’ah al-Islamiyah untuk selalu menjaga dan mengayomi kehidupan manusia, baik di dunia, maupun akhirat. Harus selalu kita dengungkan, bahwa syari’at yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah syaria’t yang rahmatan lil’alamin. Syariat ini juga merupakan ajaran yang universal, yang mampu menggapai semua aspek kehidupan manusia. Kalau kita analogikan, politik dan agama bagaikan gula dan manisnya, dengan kata lain, agama ini tidak akan berdiri tegak tanpa kekuasaan, dan kekuasaan ini tidak akan tegak tanpa seorang imam, serta imam ini tidak akan birsinerji tanpa adanya ketaatan dari rakyat yang ia pimpin, ini semua merupakan cerminan bahwa campur tangan politik salah satu jalan dari sekian banyak jalan yang dapat ditempuh untuk menuju tujuan yang luhur, dengan memastikan bahwa politik yang digunakan dalam menegakkan agama ini selalu berasaskan syari’at, yang tidak berorientasi pada kekuasaan dan kenikmatan dunia semata.
Topik politik seakan tak habis diperbincangkan. Dari semua status sosial membincangkannnya, baik strata atas, menengah ataupun bawah. Kalau kita boleh katakan, dari tukang becak sampai politikus itu sendiri. Itulah politik, bagaikan laut yang tak bertepi, terlalu berlebihan mungkin, tapi menurut penulis, ungkapan itulah yang pantas disandangkan, karena ia takkan habis ditelan zaman. Namun, timbul pertanyaan bagi penulis, kira-kira apa yah manfaat politik itu? Sebenarnya politik itu bersih nggak yah? Karena memang dalam realita -khususnya menurut penulis-, politik itu kotor. Sebagian orang berasumsi bahwa mereka (politikus-red) melumurkan diri mereka dengan kotoran , mengotorkan diri dengan uang rakyat, janji-janji manis. Kampanye mereka jadikan panggung sandiwara, tempat membual, itu semua mereka jadikan fasilitas agar bisa mengantarkan pada kekuasaan. Itulah mungkin sepotong fenomena yang bisa kita saksikan dan rasakan dari praktek politik di negeri ini.
Tapi, yakinlah! Allah Swt. tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia, bahkan nyamuk unyil sekalipun tak luput dari pandangan Allah, apalagi politik, yang mana dalam eksistensinya berperan besar dalam mengatur kehidupan. Namun pada kesempatan ini, mungkin kita akan berfokus pada politik yang berasaskan syariah, atau yang biasa kita sebut dengan as-Siasah asy-Syar`iyyah. Ulama-ulama kita terdahulu maupun sekarang telah membahasnya. Dan banyak sekali buku-buku yang telah mereka susun. Menurut mereka bahwa politk syari` adalah politik yang berdiri di atas pondasi-pondasi syar`I, yang dapat ditinjau dari berbagai aspek,termasuk aspek hukum. Mereka juga tidak menafikan, bahwa tidak semua poitik itu syar`i, seperti perpolitikan di negeri kita. Mungkin bisa dikatakan bahwa mayoritas dari politikusnya jauh dari politik yang berlandaskan syar`i. Karena -menurut hemat penulis-, apabila politik yang mereka geluti itu syar`i, mungkin akan jauh dari makar atau kerusakan, baik sosial, ekonomi, budaya maupun agama.
Jika kita flashback sejenak pada era 1967-1987-an, melalui penuturan aktivis angkatan 66, Hussein Umar, pemerintah orde baru pada saat itu melakukan deideologisasi, depoitisasi, dan sekulerisasi. ”Islamisasi politik dan depolitisasi islam adalah bagian kebijakan kekuasaan yang mencerminkan islamofobia,” kata Husein Umar dalam sebuah seminar dakwah di Gedung Perpusakan Nasional, Jakarta, 24 Juni 1995. Atau dalam bahasa Jendral Soemitro, “sekulerisasi politik.” Kristenisasi merajalela. Berbagai program pendakalan aqidah, seperti rencana pengajaran panca agama, penyelenggaraan SDSB, Pendidikan Moral Pancasila, penghapusan libur Ramadhan. Jilbab dilarang. Berbagai rekayasa politik terhadap umat Islam dijalankan. Ektrimisasi Islam dijalankan. “ Berbagai peristiwa yang dialami aktivis dakwah pada era ali Moertopo-Sujono Humardani mengingatkan kita pada saran Snouck Hurgronje kepada pemerintah imperialis Belanda untuk memadamkan cita-cita umat Islam yang dipimpin para ulama, “ Kata Hussein Umar. Jelas! Dalam daya nalar kita, bahwa politisasi yang terjadi pada era ini
benar-benar telah menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat dari berbagai segi, terutama agama, yang pada era itu disebut-sebut sebagai sejarah politik yang paling kelam yang dialami oleh umat Islam. Ini mungkin cerminan politik pada era itu, yang jauh sekali dari asas syar`i. Ketika politikus-politikus tidak lagi mengiraukan syari`ah, maka yang akan terbersit dalam benak mereka adalah kekuasaan dan materi. Kalau bisa dikatakan, semua ini merupakan dosa warisan yang diwariskan politisi terdahulu. Dan tradisi ini terus dilestarikan, bahkan dikembangkan, yang penting menurut mereka, kursi itu tetap melekat. Kesejahteraan rakyat tak dipikirkan lagi. Gambaran politik seperti ini bukanlah cerminan politik syar`i (as-Siyasah as-Syar`iyyah), politik yang menjadikan syari`at sebagai sandaran segala aktivitas. Memang tak dapat dipungkiri, hampir sebagian besar ideologi barat mengingkari politk syar`i itu sendiri, mereka berpendapat bahwa tidak ada agama dalam politik, atau tidak ada politik dalam agama, atau yang sering kita dengar dengan sekulerisme. Dan ada juga diantara mereka yang bersikap kontras, mereka menganggap Islam itu adalah politik, atau dalam istilah mereka al-Islam as-Siyasi (Islam politik), tapi slogan ini tak lain hanyalah sekedar alat dalam rangka penistaan agama Islam. Ini merupakan tugas kita untuk memberikan pencerahan tentang politik syar`i itu sendiri, baik etimologi ataupun terminiloginya, bahkan harus kita sodorkan pandangan ulama-ulama tentang hal ini, tentunya setelah memahami secara eksplisit, agar tidak terjadi kekeliruaan seperti yang dialami oleh Jaringan Islam Liberalis, Sekularis, ataupun markis. Maka dari itu, penulis ingin menyodorkan sedikit dari pendapat-pendapat para ulama, baik dari kalangan Salaf, maupum Khalaf, tentu dengan segala keterbatasan dan minimnya kapabilitas penulis. Arti dari syari’at yang dinisbatkan pada politik. Pertama kita harus mengetahui maksud syari’at yang dinisbatkan pada politik itu sendiri, karena syari’ah itu terlalu luas. Kata syari’at sering tergambar dalam pikiran manusia adalah sesuatu yang menakutkan. Yang mana syari’at ini juga sering digambarkan sebagai kumpulan dari perkataan-perkataan para ulama Fiqih modern. Menurut Dr. Yusuf Qhardawi, dalam bukunya as-Siyasah asy-Syar’iyah, semua ini adalah dugaan-dugaan tentang syaria’at yang serampangan, dan bukan hakikat syari’at itu sendiri. Dan menurut beliau, syaria’at yang hakiki adalah syari’at yang diberikan Allah Swt. Untuk memberikan kemudahan kepada hamba-Nya, bukan kesusahan. Untuk menghilangkan ketakutan, bukan sebaliknya. Banyak sekali dalil-dalil yang kita bisa dapatkan, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadist, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185, “Allah menghendaki kemdahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Dan banyak komentar-komentar para ulama salaf maupun khalaf tentang hal ini, diantaranya, apa yang dinukil Ibnu Qayyim dalam kitabnya, at-Turuq al-Hukmiyah, dari al-Allamah Ibnu Aqil al-Hanbali dalam kitabnya, al-Funun, ia berkata, “telah ma`lum, bahwa dalam menjalankan roda kekuasaan diperbolehkan dengan menggunaksn politik syar`i (as-Siyasah asy-Syar`iyyah ), dan Imam Syafi`i juga berkomentar tentang hal ini, “tidak ada politik, kecuali yang singkron dengan syari`at.” Menurut Ibnu Aqil, apabila politik itu semata-semata untuk kemaslahatan manusia, maka politik itu akan berbuah perubahan yang positif dan jauh dari imperessi negatif. Juga contoh Siyasah Syar’iyah yang dilakukan al-Khulafa ar-Rasyidin dan sahabat-sahahabatnya, serta yang menggantikan posisi setelahnya. Diantaranya, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Sidiq, yaitu dengan membakar para homoseksual, agar mereka merasakan panasnya api dunia sebelum akhirat. Juga apa yang dilakukan Umar bin al-Khattab dengan mengumpulkan manusia dalam satu huruf dalam membaca Alqur’an tujuh huruf yang bersumber dari Rasulullah Saw., agar tidak terjadi perpecahan dalam umat Islam. Inilah sedikit dari contoh perpolitikan yang dilaksanakan oleh para pemimpin islam tedahulu, walau mereka tidak menghukumi segala sesuatunya dengan al-Qur’an secara tekstual, tapi tetap bertendensi dengan al-Qur’an. Sejenak kembali menela’ah tujuan-tujuan mulia yang harus selalu berdampingan dan berjalan selaras dengan syari’at, diantaranya, menjaga Agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Tujuan-tujuan ini merupakan refleksi asy-Syari’ah al-Islamiyah untuk selalu menjaga dan mengayomi kehidupan manusia, baik di dunia, maupun akhirat. Harus selalu kita dengungkan, bahwa syari’at yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah syaria’t yang rahmatan lil’alamin. Syariat ini juga merupakan ajaran yang universal, yang mampu menggapai semua aspek kehidupan manusia. Kalau kita analogikan, politik dan agama bagaikan gula dan manisnya, dengan kata lain, agama ini tidak akan berdiri tegak tanpa kekuasaan, dan kekuasaan ini tidak akan tegak tanpa seorang imam, serta imam ini tidak akan birsinerji tanpa adanya ketaatan dari rakyat yang ia pimpin, ini semua merupakan cerminan bahwa campur tangan politik salah satu jalan dari sekian banyak jalan yang dapat ditempuh untuk menuju tujuan yang luhur, dengan memastikan bahwa politik yang digunakan dalam menegakkan agama ini selalu berasaskan syari’at, yang tidak berorientasi pada kekuasaan dan kenikmatan dunia semata.
Langganan:
Postingan (Atom)